SI SAKIT MENGHARAPKAN KEMATIAN

SI SAKIT MENGHARAPKAN KEMATIAN

Apabila  si  sakit  diperbolehkan  mengeluhkan  penderitaannya sebagaimana   saya   sebutkan,   maka  tidaklah  baik  baginya mengharapkan kematian atau meminta kematian karena penderitaan yang  dialaminya, mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa Nabi saw. bersabda:

"Jangan sekali-kali seseorang diantara kamu mengharapkan kematian karena penderitaan yang dialaminya. Jika ia harus berbuat begitu, maka hendaklah ia mengucapkan, 'Ya Allah, hidupkanlah aku jika hidup itu lebih baik bagiku; dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku."83

Hadits Abu Hurairah r.a. yang diriwayatkan  oleh  Bukhari  dan lainnya  menjelaskan  hikmah  larangan  ini,  maka  Nabi  saw. bersabda:

"Dan jangan sekali-kali salah seorang diantara kamu mengharapkan kematian, karena kalau ia orang baik maka boleh jadi akan menambah kebaikannya; dan jika ia orang yang jelek maka boleh jadi ia akan bertobat dengan tulus."84

Makna kata yasta'tibu ialah kembali dari segala  sesuatu  yang menjadikannya  tercela,  caranya  ialah dengan melakukan tobat nashuha (tobat yang tulus).

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya  dari  Abu  Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda:

"Jangan sekali-kali salah seorang diantara kamu mengharapkan kematian dan jangan pula berdoa memohon kematian sebelum datang waktunya. Sesungguhnya kematian itu apabila datang kepada salah seorang diantara kamu maka putuslah amalnya, dan sesungguhnya tidak bertambah umur orang mukmin itu melainkan hanya menambah kebaikan baginya."85

Para ulama mengatakan, "Sebenarnya dimakruhkannya mengharapkan kematian  itu  hanyalah apabila  berkenaan dengan kemudaratan atau  kesempitan  hidup  duniawi,  tetapi  tidak   dimakruhkan apabila  motivasinya  karena  takut  fitnah terhadap agamanya, karena kerusakan zaman, sebagaimana dipahami dari hadits  Anas di   atas.   Banyak  diriwayatkan  dari  kalangan salaf yang mengharapkan kematian  ketika  mereka  takut  fitnah  terhadap agamanya."86

Hal  ini  diperkuat  oleh hadits Mu'adz bin Jabal mengenai doa Nabi saw.:

"Ya Allah, aku mohon kepada-Mu (agar Engkau menolongku untuk) melakukan kebaikan, meninggalkan kemunkaran, dan mencintai orang-orang miskin. Dan apabila Engkau menghendaki suatu fitnah kepada suatu kaum, maka wafatkanlah aku untuk menghadapMu tanpa terkena fitnah."87

Selain  itu,  juga  disebutkan  dalam  beberapa  hadits   yang membicarakan  tanda-tanda  hari  kiamat bahwa  kelak akan ada seseorang yang melewati kubur saudaranya, lalu ia  mengatakan, "Alangkah   baiknya   kalau   aku   yang  menempati  tempatnya (kuburnya)."

Tidak disukainya (dimakruhkannya)  mengharapkan  kematian  ini dengan  ketentuan  apabila hal itu dilakukan sebelum datangnya pendahuluan kematian; namun jika setelah pendahuluan  kematian itu datang,  maka  tidak terlarang dia mengharapkannya karena merasa rela bertemu Allah, dan tidak terlarang pula bagi orang yang meminta kematian karena kerinduannya untuk bertemu dengan Allah Azza wa Jalla.

Karena itu, dalam bab ini pula Imam  Bukhari  mencatat  hadits Aisyah  yang  mengatakan,  "Saya mendengar  Nabi saw., sambil bersandar pada saya, berdoa:

"Ya Allah, ampunilah aku dan kasih sayangilah aku, dan pertemukanlah aku dengan teman yang luhur."88

Hal ini sebagai isyarat bahwa larangan tersebut  khusus  untuk keadaan sebelum datangnya pendahuluan kematian.89

Catatan kaki :
66 Muttafaq 'alaih dari hadits Ibnu Umar. Al-Lu'lu' wal-Marjan fii Maa ittafaqa 'alaihi asy-Syaikhaani, hadits nomor 1052.^
67 Al-Majmu karya Imam Nawawi, juz 5, hlm. 118-119.^
68 HR Thabrani dalam al-Ausath. Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abu Malik an-Nakha'i, sedangkan dia itu lemah. (Majma'uz-Zawaid, karya al-Haitsami, juz 10, hlm. 113).^
69 HR Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Hakim. Shahih al-Jami'ush-Shaghir, hadits nomor 305.^
70 Shahih al-Jami'ush-Shaghir, hadits nomor 306.^
71 Periksa hadits ini dan dua hadits sebelumnya dalam Shahih al-Bukhari dan Fathul-Bari: "Kitab al-Mardha." "Bab Maa Rakhkhisha lil Maridh an Yaquula: 'Inni waja'un, au waara'saahu, au isytadda bii al-waja'u'." Hadits nomor 5666, 5667, 5668.^
72 Al-Adabul-Mufrad, karya Imam Bukhari, hadits no. 509.^
73 Fathul-Bari, juz 10., hlm. 124.^
74 Ibid.^
75 Muslim dalam "as-Salam," hadits no. 2202; Abu Daud no. 3891, dan Tirmidzi no 2081.^
76 Al-Allamah al-Qari dalam Mirqatul-Mafatih Syarah Misykatil-Mashabih, juz 2, hlm. 298.^
77 Al-Mubdi' fi Syarh al-Muqni, juz 2, hlm. 215.^
78 Fathul-Bari, juz 10, hlm 125 dan 126.^
79 Al-Adabul-Mufrad, karya al-Bukhari, hadits nomor 509.^
80 Al-Bukhari, hadits nomor 5660.^
81 Lihat, Fathul-Bari, juz 10, hlm. 124.^
82 Ibid.^
83 Al-Bukhari dalam Fathul-Bari, hadits nomor 5671, "Bab Tamanni al-Maridh al-Mauta;" dan Muslim dalam "adz-Dzikir wad-Du'a," hadits nomor 2680.^
84 Al-Bukhari dalam Fathul-Bari, nomor 5673.^
85 HR Muslim dalam "adz-Dzikr wad-Du'a wat-Taubah," hadits nomor 2662.^
86 Lihat, Syarh as-Sunnah, karya al-Baghawi, juz 5, hlm. 259. dan al-Majmu', karya an-Nawawi, juz 5, hlm. 106-107.^
87 HR Tirmidzi dan beliau berkata, "Hasan sahih." Hadits nomor 3235. Diriwayatkan juga dalam Musnad Ahmad dan disahkan oleh Hakim, sebagaimana juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dari hadits Ibnu Abbas, nomor 3233, dan Imam Ahmad yang disahkan oleh Syakir, hadits nomor 3484. ^
88 Al-Bukhari, hadits nomor 5674.^
89 Fathul-Bari, juz 10, hlm. 130. ^

0 comments:

Post a Comment