MEMPERBAIKI DIRI SEBELUM MEMPERBAIKI SISTEM

DI ANTARA prioritas yang dianggap sangat penting  dalam  usaha perbaikan   (ishlah)   ialah   memberikan  perhatian  terhadap pembinaan  individu   sebelum   membangun   masyarakat;   atau memperbaiki  diri  sebelum  memperbaiki  sistem dan institusi. Yang paling tepat ialah  apabila  kita  mempergunakan  istilah yang  dipakai  oleh  al-Qur'an yang berkaitan dengan perbaikan diri ini; yaitu:

"...Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keaduan yang ada pada diri mereka sendiri..." (ar-Ra'd: 11)

Inilah  sebenarnya  yang  menjadi  dasar  bagi  setiap   usaha perbaikan,  perubahan,  dan pembinaan sosial. Yaitu usaha yang dimulai dari individu, yang menjadi  fondasi  bangunan  secara menyeluruh.  Karena  kita tidak bisa berharap untuk mendirikan sebuah  bangunan  yang  selamat  dan  kokoh  kalau   batu-batu fondasinya keropos dan rusak.

Individu   manusia   merupakan  batu  pertama  dalam  bangunan masyarakat. Oleh sebab itu, setiap usaha yang diupayakan untuk membentuk  manusia  Muslim yang benar dan mendidiknya --dengan pendidikan Islam yang sempurna-- harus diberi  prioritas  atas usaha-usaha  yang  lain. Karena sesungguhnya usaha pembentukan manusia Muslim yang sejati sangat diperlukan bagi segala macam pembinaan  dan  perbaikan.  Itulah  pembinaan  yang  berkaitan dengan diri manusia.

Sesungguhnya pembinaan manusia secara individual untuk menjadi manusia yang salih merupakan tuga utama para nabi Allah, tugas para khalifah pengganti nabi, dan para pewaris setelah mereka.

Pertama-tama yang harus dibina dalam diri manusia ialah  iman. Yaitu  menanamkan  aqidah  yang  benar  di dalam hatinya, yang meluruskan pandangannya terhadap  dunia,  manusia,  kehidupan, dan  tuhan  alam semesta, Pencipta manusia, pemberi kehidupan. Aqidah  yang  mengenalkan  kepada  manusia  mengenai  prinsip, perjalanan dan tujuan hidupnya di dunia ini. Aqidah yang dapat menjawab pelbagai pertanyaan yang  sangat  membingungkan  bagi orang  yang  tidak  beragama:  "Siapa  saya? Dari manakah saya berasal? Akan kemanakah perjalan hidup saya? Mengapa saya  ada di  dunia  ini?  Apakah  arti hidup dan mati? Apa yang terjadi sebelum adanya kehidupan? Dan apakah yang akan terjadi setelah kematian? Apakah misi saya di atas planet ini sejak saya masih di alam konsepsi hingga saya meninggal dunia?

Iman  --bukan  yang  lain--  adalah  yang  memberikan  jawaban memuaskan  bagi  manusia  terhadap pertanyaan-pertanyaan besar berkaitan dengan perjalanan hidup manusia itu.  Ia  memberikan tujuan,  muatan makna, dan nilai bagi kehidupannya. Tanpa iman manusia akan menjadi debu-debu halus yang  tidak  berharga  di alam wujud ini, dan sama sekali tidak bernilai jika dihadapkan kepada kumpulan benda di alam semesta yang sangat besar.  Umur manusia   tidak   ada  apa-apanya  kalau  dibandingkan  dengan perjalanan geologis yang berkesinambungan pada  alam  semesta, dan  yang  akan  terus  berlangsung  dan  tidak akan berakhir. Kekuatan Manusia tidak akan ada apa-apanya kalau  dibandingkan dengan  pelbagai  kejadian  di  alam  semesta  yang  mengancam keselamatannya; seperti: gempa  bumi,  gunung  meletus,  angin ribut,  banjir,  yang  merusak  dan  membunuh  manusia. Ketika berhadapan dengan  pelbagai  peristiwa  alamiah  itu,  manusia tidak  dapat  berbuat  apa-apa,  walaupun  dia  mempunyai ilmu pengetahuan, kemauan, dan teknologi canggih.

Selamanya, iman merupakan  pembawa  keselamatan.  Dengan  iman kita  dapat  mengubah  jati diri manusia, dan memperbaiki segi batiniahnya. Kita tidak dapat menggiring manusia seperti  kita menggiring  binatang ternak; dan kita tidak dapat membentuknya sebagaimana kita membentuk peralatan rumah tangga yang terbuat dari besi, perak atau bijih tambang yang lainnya.

Manusia  harus  digerakkan  melalui akal dan hatinya. Ia harus diberi kepuasan sehingga  dapat  merasakan  kepuasan  itu.  Ia harus  diberi petunjuk agar dapat meniti jalan yang lurus; dan ia harus digembirakan dan diberi peringatan,  agar  dia  dapat bergembira dan merasa takut dengan adanya peringatan tersebut. Imanlah  yang  menggerakkan  dan  mengarahkan  manusia,  serta melahirkan  berbagai  kekuatan  yang  dahsyat  dalam  dirinya. Manusia tidak akan  memperoleh  kejayaan  tanpa  iman.  Karena sesungguhnya  iman  membuatnya  menjadi  makhluk  baru, dengan semangat yang baru, akal baru,  kehendak  baru,  dan  filsafat hidup  yang  juga  baru. Sebagaimana yang kita saksikan ketika para ahli sihir Fir'aun beriman kepada  Tuhan  nabi  Musa  dan Harun.  Mereka  menentang kesewenangan Fir'aun, sambil berkata kepadanya dengan penuh ketegasan dan kewibawaan:

"... maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja... (Taha: 72)

Kita juga dapat  melihat  para  sahabat  Rasulullah  saw  yang keimanan  mereka  telah memindahkan kehidupan Jahiliyah mereka kepada  kehidupan  Islam;  dari   penyembahan   berhala,   dan penggembalaan  kambing  kepada  pembinaan  umat  dan  menuntun manusia kepada petunjuk Allah SWT, serta  mengeluarkan  mereka dari kegelapan kepada cahaya.

Selama  tiga  belas  tahun  di  Makkah  al-Mukarramah, seluruh perhatian dan kerja-kerja Nabi saw  --yang  berbentuk  tabligh dan  da'wah--  ditumpukan  kepada  pembinaan  generasi pertama berdasarkan keimanan.

Pada  tahun-tahun  itu  belum  turun  penetapan  syariah  yang mengatur  kehidupan  masyarakat,  menetapkan hubungan keluarga dan hubungan sosial, serta menetapkan  sanksi  terhadap  orang yang   menyimpang  dari  undang-undang  tersebut.  Kerja  yang dilakukan oleh al-Qur'an dan  Rasulullah  saw  adalah  membina manusia  dan  generasi  sahabat  Rasulullah  saw, mendidik dan membentuk mereka, agar mereka dapat menjadi pendidik di  dunia ini setelah kepergian baginda Rasul.

Dahulu,  rumah  Al-Arqam  bin  Abi  al-Arqam memainkan peranan untuk itu. Kitab suci Allah SWT  diturunkan  kepada  Rasul-Nya sedikit  demi  sedikit sesuai dengan kasus-kasus yang dihadapi pada saat itu; agar dia membacakannya  kepada  manusia  secara perlahan-lahan,  untuk  memantapkan keyakinan hati mereka, dan orang-orang yang beriman kepadanya. Nabi saw menjawab berbagai pertanyaan  orang  musyrik  pada  waktu  itu dengan mematahkan hujah-hujah mereka, sehingga hal  ini  sangat  besar  perannya dalam  membina  kelompok  orang-orang beriman, memperbaiki dan mengarahkan perjalanan hidup mereka. Allah SWT berfirman:

"Dan al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (al-Isra,: 106)
  
"Berkatalah orang-orang kafir: "Mengapa al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus saja?" Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya." (al-Furqan: 32-33)

Tugas terpenting yang mesti kita lakukan pada hari ini apabila kita  hendak  melakukan  perbaikan  terhadap keadaan umat kita ialah melakukan permulaan yang tepat,  yaitu  membina  manusia dengan  pembinaan  yang  hakiki  dan  bukan hanya dalam bentuk luarnya  saja.  Kita  harus  membina  akal,  ruh,  tubuh,  dan perilakunya  secara  seimbang.  Kita  membina  akalnya  dengan pendidikan; membina ruhnya dengan ibadah;  membina  jasmaninya dengan  olahraga;  dan  membina perilakunya dengan sifat-sifat yang mulia. Kita dapat membina kemiliteran  melalui  disiplin; membina  kemasyarakatannya  melalui  kerja sama; membina dunia politiknya dengan penyadaran. Kita harus  mempersiapkan  agama dan  dunianya secara bersama-sama agar ia menjadi manusia yang baik,  dan  dapat  mempengaruhi  orang  untuk  berbuat   baik, sehingga  dia  terhindar  dari  kerugian di dunia dan akhirat; sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:

"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat- menasihati supaya menetapi kesabaran." (al-'Ashr: 1-3)

Usaha itu tidak dapat dilakukan dengan  baik  kecuali  melalui pandangan  yang menyeluruh terhadap wujud ini, dan juga dengan filsafat hidup yang jelas,  proyek  peradaban  yang  sempurna, yang  dipercayai  oleh  umat, sehingga ia mendidik anak lelaki dan perempuannya dengan penuh keyakinan, bekerja sesuai dengan hukum yang telah ditentukan dan berjalan pada jalur yang telah digariskan. Bagaimanapun, semua institusi yang  ada  di  dalam umat  (masjid  dan universitas, buku dan surat kabar, televisi dan radio) mesti melakukan  kerja  sama  yang  baik,  sehingga tidak  ada  satu  institusi yang naik sementara institusi yang lainnya tenggelam, atau ada satu perangkat yang  dibangun  dan pada  saat yang sama perangkat lainnya dihancurkan. Pernyataan di atas dibenarkan oleh ucapan penyair terdahulu:

"Dapatkah sebuah bangunan diselesaikan; Apabila engkau membangunnya dan orang lain menghancurkannya?”

MEMBEDAKAN ANTARA KEKUFURAN, KEMUSYRIKAN, DAN KEMUNAFIQAN YANG BESAR DAN YANG KECIL

SATU hal yang sangat penting di  sini  ialah  kemampuan  untuk membedakan  tingkat  kekufuran,  kemusyrikan, dan kemunafiqan. Setiap bentuk kekufuran, kemusyrikan dan kemunafiqan  ini  ada tingkat-tingkatnya.

Akan    tetapi,   nash-nash   agama   menyebutkan   kekufuran, kemusyrikan, dan kemunafiqan hanya dalam satu  istilah,  yakni kemaksiatan;   apalagi   untuk  dosa-dosa  besar.  Kita  mesti mengetahui penggunaan istilah-istilah ini sehingga kita  tidak mencampur  adukkan  antara berbagai istilah tersebut, sehingga kita menuduh sebagian orang telah melakukan kemaksiatan berupa kekufuran  yang  paling  besar  (yakni ke luar dari agama ini) padahal  mereka  sebenarnya  masih  Muslim.  Dengan  menguasai penggunaan  istilah  itu, kita tidak menganggap suatu kelompok orang sebagai musuh kita, lalu kita menyatakan perang terhadap mereka,  padahal  mereka termasuk kelompok kita, dan kita juga termasuk dalam kelompok mereka; walaupun mereka termasuk orang yang  melakukan  kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk menangani masalah ini sebaiknya kita mengaca  pada  peribahasa Arab: "Hidungmu adalah bagianmu, walaupun hidung itu pesek."

KEKUFURAN BESAR DAN KEKUFURAN KECIL

Sebagaimana diketahui bahwasanya kekufuran yang  paling  besar ialah  kekufuran terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya, sebagaimana yang telah kami sebutkan di muka sehubungan  dengan  kekufuran orang-orang atheis; atau kekufuran terhadap kerasulan Muhammad saw sebagaimana kekufuran yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nasrani.   Mereka   dikategorikan  sebagai  orang-orang  kafir terhadap kerasulan Muhammad  dalam  hukum-hukum  dunia  Adapun balasan  yang  akan  diterima  oleh  mereka, tergantung kepada sejauh mana rintangan  yang  pernah  mereka  lakukan  terhadap Rasulullah   saw   setelah   dijelaskan  bahwa  beliau  adalah Rasulullah saw; sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisa': 115)

Adapun bagi orang yang belum jelas kebenaran  baginya,  karena dakwah  Islam  belum  sampai  kepada mereka, atau telah sampai tetapi tidak begitu jelas sehingga dia tidak  dapat  memandang dan   mempelajarinya,   maka  dia  termasuk  orang-orang  yang dimaafkan. Allah SWT berfirman:

"... dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul." (al-Isra,: 15)

Diyakini bahwasanya kaum Muslimin bertanggung  jawab  --sampai kepada   batas   yang   sangat   besar--   terhadap  kesesatan bangsa-bangsa di muka  bumi;  kebodohan  mereka  akan  hakikat Islam;  dan  keterjerumusan  mereka  kepada  kebathilan  musuh Islam.  Kaum  Muslimin  harus  berusaha   dengan   keras   dan sungguh-sungguh  untuk menyampaikan risalah Islam, menyebarkan dakwah mereka  kepada  setiap  bangsa  dengan  bahasa  mereka, sehingga  mereka  mendapatkan penjelasan mengenai Islam dengan sejelasjelasnya, dan panji risalah Muhammad dapat ditegakkan.

Sedangkan kekufuran yang kecil ialah kekufuran yang  berbentuk kemaksiatan terhadap agama ini, bagaimanapun kecilnya.

Misalnya  orang yang sengaja meninggalkan shalat karena malas, dengan tidak mengingkari dan tidak mencelanya.  Orang  seperti ini,  menurut  jumhur ulama adalah orang yang berbuat maksiat, atau fasiq, dan tidak kafir; walaupun  dalam  beberapa  hadits dikatakan  sebagai  kafir.  Sebagaimana  hadits: "Batas antara kami   dan   mereka   adalah   shalat."   "Barangsiapa    yang meninggalkannya,  maka  dia  termasuk  kafir."3  "Batas antara seseorang dengan kekufuran ialah meninggalkan shalat."4

Ibn Hazm --dengan Zhahiriyahnya-- tidak mengatakan bahwa orang yang  meninggalkan  shalat  termasuk  kafir... Selain itu, ada riwayat yang berasal dari Imam Ahmad  tidak  mengatakan  bahwa orang  yang  meninggalkan  shalat itu adalah kafir. Tetapi dia dihukumi sebagai orang kafir,  kalau  imam  atau  qadhi  telah memanggilnya  dan  memintanya  untuk  bertobat,  kemudian  dia enggan menuruti permintaan itu.

Imam Ibn Qudamah mendukung pendapat  tersebut  dan  mengatakan bahwa  orang  yang  meninggalkan shalat itu tidak kafir --asal orang itu tidak mengingkarinya dan tidak mengabaikannya.  Jika dia  dibunuh  karena  meninggalkan shalat, maka hal itu adalah sebagai pelaksanaan hudud dan bukan karena kafir. Ada  riwayat lain  yang  juga  berasal  dari  Ahmad,  yang dipilih oleh Abu Abdillah bin Battah, yang tidak setuju dengan  pendapat  bahwa orang  yang  meninggalkan  shalat  adalah  kafir. Abu Abdillah mengatakan, "Inilah pendapat mazhab, dan  tidak  ada  pendapat yang bertentangan dengannya dalam mazhab ini."

Ibn  Qudamah  mengatakan,  "Ini  merupakan pendapat kebanyakan fuqaha, dan juga pendapat Abu Hanifah, Malik  dan  Syafi'i..." seraya  mengutip hadits-hadits yang disepakati ke-shahih-annya 5 yang mengharamkan api neraka  atas  orang  yang  mengatakan: "Tiada  tuhan selain Allah," dan orang yang mengatakannya akan dikeluarkan darinya; karena di dalam hati orang ini masih  ada kebaikan  sebesar  biji  gandum.  Selain itu, Ibn Qudamah juga berargumentasi dengan qaul para  sahabat  dan  konsensus  kaum Muslimin  yang  mengatakan,  "Sesungguhnya  kami  belum pernah mengetahui pada suatu zaman yang telah berlalu  ada  seseorang yang  meninggalkan  shalat  kemudian  dia tidak dimandikan dan dishalatkan ketika meninggal dunia, kemudian tidak dikubur  di kuburan  kaum  Muslimin;  atau  yang ahli warisnya tidak boleh mewarisi dirinya, atau dia  mewarisi  keluarganya  yang  telah meninggal   dunia;   atau  ada  dua  orang  suami  istri  yang dipisahkan   karena   salah   seorang   di   antara   keduanya meninggalkan  shalat,  padahal  orang yang meninggalkan shalat sangat banyak. Kalau orang yang meninggalkan  shalat  dianggap sebagai  kafir,  maka  akan  jelaslah  hukum yang berlaku atas mereka."

Ibn  Qudamah  menambahkan,  "Kami  belum   pernah   mengetahui pertentangan   yang   terjadi  antara  kaum  Muslimin  tentang orang-orang  yang  meninggalkan  shalat  bahwa  mereka   wajib mengqadhanya.   Sampai  kalau  dia  murtad,  dia  tidak  wajib mengqadha shalat dan puasanya. Adapun hadits-hadits  terdahulu (yang   menyebutkan   bahwa  orang  yang  meninggalkan  shalat dianggap  kafir),  maka  sesungguhnya  hadits  tersebut  ingin memberikan  tekanan  yang lebih berat dan menyamakannya dengan kekufuran, dan bukan  ungkapan  yang  sebenarnya.  Sebagaimana sabda  Rasulullah s aw, "Mencela orang Muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran."6

"Barangsiapa berkata kepada saudaranya, 'Hai kafir, maka sesungguhnya kalimat ini akan kembali kepada salah seorang di antara mereka."7

Ungkapan-ungkapan seperti  itu  sebetulnya  dimaksudkan  untuk memberikan  tekanan  dan ancaman, dan pendapat terakhir inilah yang paling tepat di  antara  dua  pendapat  di  atas.  Wallah a'lam.8

PENJELASAN IMAM IBN AL-QAYYIM

Dalam buku al-Madarij, imam Ibn al-Qayyim berkata,  "Kekufuran itu adalah dua macam: kufur besar dan kufur kecil. Kufur besar adalah penyebab kekalnya seseorang di  api  nereka,  sedangkan kufur  kecil  hanya  menyebabkan  ancaman  Allah SWT dan tidak kekal di api neraka." Sebagaimana dijelaskan oleh  sabda  Nabi saw,

"Ada dua hal yang menyebabkan kekafiran dalam umatku: yaitu orang yang menyesali nasabnya dan orang yang berkhianat."9

Dalam as-Sunan, Nabi saw bersabda,

"Barangsiapa mendatangi istrinya dari duburnya, maka dia telah ingkar dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad." 10

Dalam hadits yang lain, Nabi saw bersabda,

"Barangsiapa datang kepada dukun atau peramal, kemudian dia mempercayai apa yang dia katakan, maka dia telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Muhammad." 11
  
"Janganlah kamu menjadi kafir lagi sesudahku, kemudian sebagian dari kamu memukul leher sebagian yang lain."12

Berikut ini ada baiknya kami kemukakan tentang penakwilan  Ibn Abbas dan para sahabat yang lainnya terhadap firman Allah SWT:

"Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir." (al-Ma'idah: 44)

Ibn Abbas berkata, "Bukan kafir yang  mengakibatkan  pindahnya agama,  tetapi kalau dia melalukannya maka dia dianggap kafir, dan tidak seperti orang yang kafir  terhadap  Allah  dan  hari akhir." Begitu pula pendapat Thawus.

Atha'  berkata,  "Yang  serupa  itu  adalah kekufuran di bawah kekufuran kezaliman di bawah kezaliman, dan kefasiqan di bawah kefasiqan."

Sebagian  dari  mereka ada yang mentakwilkan ayat meninggalkan hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai  orang yang   ingkar   kepada-Nya.   Ini   adalah  pendapat  Ikrimah. Penakwilan ini tidak dapat diterima karena sesungguhnya ingkar kepada-Nya adalah kufur.

Diantara  mereka ada yang menakwilkan bahwa meninggalkan hukum yang dimaksudkan oleh ayat di atas  ialah  meninggalkan  hukum dengan  seluruh  ayat  yang  diturunkan  oleh  Allah  SWT. Dia menambahkan: "Termasuk di dalamnya ialah hukum yang  berkaitan dengan  tauhid  dan  Islam." Ini adalah penakwilan Abd al-Aziz al-Kinani, yang merupakan penakwilan yang  jauh  juga.  Karena sesungguhnya  ancamannya diberikan kepada orang yang menafikan hukum yang telah diturunkan olehnya,  yang  mencakup  penafian dalam kadar yang banyak (semuanya) atau hanya sebagian saja.

Ada   juga   orang   yang  menakwilkan  ayat  tersebut  dengan mengatakan bahwa yang dimaksudkan ialah menetapkan hukum  yang bertentangan  dengan  nash, dengan sengaja, bukan karena tidak mengetahui atau karena salah takwil. Begitulah yang dikisahkan oleh al-Baghawi dari para ulama pada umumnya.

Ada  yang  mentakwilkan  bahwa  yang dimaksudkan oleh ayat itu ialah para ahli kitab. Yaitu pendapat Qatadah, al-Dhahhak, dan lain-lain.  Dan  ini  dianggap  sebagai  penakwilan yang cukup jauh,  karena  bertentangan  dengan  bentuk   lahiriah   lafal tersebut sehingga ia tidak dapat ditakwilkan seperti itu.13

Ada  pula  yang  berpendapat: "Hal itu adalah kufur yang dapat mengeluarkan seseorang dari agama ini."

Yang benar ialah bahwa sesungguhnya  memutuskan  hukum  dengan sesuatu  yang  tidak  diturunkan oleh Allah SWT mengandung dua kekufuran, kecil dan besar, melihat  keadaan  hakimnya.  Kalau dia  berkeyakinan  bahwa  wajib baginya untuk menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan oleh  Allah  dalam  suatu  masalah, kemudian  dia  mengetahui  bahwa  menyimpang  darinya dianggap sebagai suatu kemaksiatan, dan dia juga mengakui bahwa hal itu akan  mendapatkan  siksa,  maka  tindakan  ini  termasuk kufur kecil.  Jika  dia  berkeyakinan  bahwa  tidak  wajib   baginya menetapkan  hukum  dengan apa yang diturunkan oleh Allah dalam suatu masalah, kemudian  dia  merasa  bebas  untuk  menetapkan hukum  tersebut --padahal dia yakin bahwasanya ada hukum Allah dalam masalah tersebut-- maka tindakan  ini  dianggap  sebagai kekufuran  besar.  Jika  dia  tidak  tahu  dan  dia  melakukan kesalahan, maka dia  dianggap  bersalah  dan  dihukum  sebagai orang yang memiliki dua kesalahan.

Maksudnya,   sesungguhnya  semua  kemaksiatan  merupakan  satu bentuk  kekufuran   kecil.   Ia   bertolak   belakang   dengan kesyukuran,  yakni  bekerja  untuk  melakukan  ketaatan. Upaya untuk menetapkan hukum itu sendiri boleh jadi  merupakan  satu bentuk kesyukuran, atau kekufuran, atau yang lain, yaitu tidak syukur atau tidak kufur.... Wallah a'lam.14

KEMUSYRIKAN BESAR DAN KEMUSYRIKAN KECIL

Sebagaimana adanya pembagian kategori besar  dan  kecil  dalam kekufuran,  begitu  pula dalam kemusyrikan. Ada yang besar dan ada pula yang kecil.

Kemusyrikan yang besar telah  diketahui  bersama,  sebagaimana dikatakan  oleh  Ibn al-Qayyim: "Yaitu mempersekutukan sesuatu dengan Allah SWT. Mencintai sesuatu sebagaimana dia  mencintai Allah.  Inilah  kemusyrikan  yang  setara  dengan  kemusyrikan karena menyamakan tuhan-tuhan orang musyrik dengan Tuhan  alam semesta.   Dan   oleh   karena   itu,  mereka  berkata  kepada tuhan-tuhan  mereka  ketika  di  neraka  kelak,  'Demi  Allah, sungguh  kita  dahulu  di  dunia  dalam  kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan alam semesta.'"15

Kemusyrikan seperti ini tidak dapat  diampuni  kecuali  dengan tobat kepada-Nya, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya..." (an-Nisa': 48)

Dapat diampuni kalau seseorang tidak mengetahui  bahwa  amalan itu  adalah  amalan  jahiliyah dan musyrik, yang sangat dicela oleh al-Qur'an, sehingga dia terjerumus ke dalamnya,  mengakui kebenarannya,   dan   menganjurkan   orang   kepadanya,  serta menganggapnya sebagai sesuatu yang baik. Dia tidak tahu  bahwa apa  yang sedang dia lakukan adalah pekerjaan orang jahiliyah, atau orang yang serupa dengannya, atau orang yang lebih  jahat daripada mereka atau di bawah mereka. Karena ketidaktahuannya, hatinya   menentang   Islam,   menganggap   kebaikan   sebagai kemungkaran,  dan  menganggap  kemungkaran  sebagai  kebaikan; menganggap sesuatu yang bid'ah sebagai Sunnah, dan  menganggap sunnah  sebagai  bid'ah;  mengkafirkan orang lain yang beriman dan  bertauhid,  serta  menganggap  bid'ah  orang-orang   yang mengikuti R3Sulullah saw, orang-orang yang menjauhi hawa nafsu dan segala bentuk bid'ah. Oleh  sebab  itu,  barangsiapa  yang memiliki mata hati yang hidup, maka dia akan melihat kebenaran itu dengan mata kepalanya sendiri.

Ibn al-Qayyim berkata,  "Sedangkan  kemusyrikan  kecil  adalah seperti riya', memamerkan diri kepada makhluk Allah, bersumpah dengan selain Allah, sebagaimana ditetapkan oleh  hadits  Nabi saw yang bersabda,

"Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah musyrik." 16

Dan  ucapan  seseorang  kepada  orang   lain:   'Kalau   Allah menghendaki  dan  engkau menghendaki'; 'Ini berasal dari Allah dan dari engkau'; 'Aku  bersama  Allah  dan  engkau';  'Kepada siapa  lagi  aku  bergantung kecuali kepada Allah dan engkau'; 'Aku bertawakkal kepada Allah dan kepadamu'; 'Jika  tidak  ada kamu,   maka  tidak  akan  terjadi  begini  dan  begitu';  dan ucapan-ucapan  seperti   ini   dapat   dikategorikan   sebagai kemusyrikan  besar,  terpulang kepada orang yang mengatakannya dan tujuannya. Nabi saw bersabda kepada  seorang  lelaki  yang berkata    kepadanya:    "Kalau    Allah    SWT   dan   engkau menghendakinya." Maka Nabi saw bersabda, "Apakah engkau hendak menjadikan diriku, sebagai sekutu Allah? Katakan: "Kalau Allah sendiri menghendaki."" Ucapan seperti ini adalah  yang  paling ringan dibandingkan dengan ucapan yang lainnya.

Di  antara  bentuk  kemusyrikan lainnya ialah sujudnya seorang murid kepada syaikhnya. Orang yang bersujud,  dan  orang  yang disujudi dianggap sama-sama melakukan kemusyrikan.

Bentuk  yang  lainnya  yaitu  mencukur rambut untuk syaikhnya, karena  sesungguhnya  hal  ini  dianggap  sebagai  penyembahan terhadap  selain  Allah, dan tidak ada yang berhak mendapatkan penyembahan dengan cara mencukur rambut kecuali  dalam  ibadah kepada Allah SWT saja.

Bentuk  kemusyrikan yang lainnya ialah bertobat kepada syaikh. Ini adalah suatu kemusyrikan yang besar.  Karena  sesungguhnya tobat  tidak boleh dilakukan kecuali kepada Allah SWT. Seperti shalat, puasa, dan haji. Ibadah-ibadah ini hanya khusus  untuk Allah SWT saja.

Dalam   al-Musnad   disebutkan  bahwa  kepada  Rasulullah  saw didatangkan seorang tawanan, kemudian dia berkata, "Ya  Allah, sesunggguhnya aku bertobat kepada-Mu dan tidak bertobat kepada Muhammad." Maka Rasulullah saw bersabda, "Dia telah mengetahui hak untuk yang berhak memilikinya."

Tobat  adalah  ibadah  yang  hanya  ditujukan kepada Allah SWT sebagaimana sujud dan puasa.

Bentuk kemusyrikan lainnya ialah bernazar kepada selain Allah, karena  sesungguhnya  hal ini termasuk kemusyrikan dan dosanya lebih besar daripada dosa bersumpah atas nama selain Allah .

Kalau ada orang yang bersumpah dengan  selain  Allah  dianggap musyrik,  maka  bagaimana  halnya  dengan  orang yang bernazar untuk selain Allah? Dalam as-sunan  ada  hadits  yang  berasal dari Uqbah bin 'Amir dari Rasulullah saw yang bersabda, "Nazar adalah sumpah."

Di antara bentuk kemusyrikan yang lainnya ialah  takut  kepada selain  Allah,  bertawakkal  kepada  selain Allah, dan beramal karena selain Allah, tunduk dan merendahkan diri kepada selain Allah,  meminta  rizki  kepada selain Allah, dan memuji kepada selain Allah karena memberikan  sesuatu  kepadanya  dan  tidak memuji kepada Allah SWT, mencela dan marah kepada Allah karena belum   mendapat   rizki,   dan   belum   ditakdirkan    untuk mendapatkannya,  menisbatkan  nikmat-nikmat-Nya  kepada selain Allah, dan berkeyakinan bahwa di alam semesta ini ada  sesuatu yang tidak dijangkau oleh kehendak-Nya." 17

KEMUNAFIQAN BESAR DAN KEMUNAFIQAN KECIL

Kalau  di  dalam  kekufuran dan kemusyrikan ada yang besar dan ada  juga  yang  kecil,  maka  begitu   pula   halnya   dengan kemunafiqan. Ia juga ada yang besar dan ada pula yang kecil.

Kemunafiqan  besar  adalah  kemunafiqan  yang berkaitan dengan aqidah,   yang   mengharuskan    pelakunya    tetap    tinggal selama-lamanya di dalam neraka. Bentuknya ialah menyembunyikan kekufuran dan menampakkan Islam. Beginilah bentuk  kemunafiqan pada  zaman  Nabi  saw,  yang ciri-cirinya disebutkan di dalam al-Qur'an dan di jelaskan  kepada  hamba-hamba  yang  beriman, agar   mereka   berhati-hati   terhadap  orang-orang  munafiq, sehingga mereka sedapat mungkin menjauhi perilaku mereka.

Sedangkan  kemunafiqan  kecil  ialah  kemunafiqan  dalam  amal perbuatan  dan  perilaku, yaitu orang yang berperilaku seperti perilaku orang-orang munafiq, meniti jalan yang  dilalui  oleh mereka,  walaupun  orang-orang  ini sebenarnya memiliki aqidah yang benar. Inilah sebenarnya yang  diingatkan  oleh  beberapa hadits yang shahih.

   "Ada empat hal yang apabila kamu berada di dalamnya, maka kamu dianggap sebagai orang munafiq murni. Dan barangsiapa yang mempunyai salah satu sifat tersebut, maka dia dianggap sebagai orang munafiq hingga ia meninggalkan sifat tersebut. Yaitu apabila dia dipercaya dia berkhianat, apabila berbicara dia berbohong, dan apabila membuat janji dia mengingkari, apabila bertengkar dia melakukan kecurangan." 18

Hadits yang lain menyebutkan, "Tanda-tanda orang  munafiq  itu ada  tiga: Apabila bicara, dia berbohong; apabila berjanji dia mengingkarinya; dan apabila dipercaya, dia berkhianat."19

Dalam  riwayat  Muslim  disebutkan:  "Walaupun  dia  berpuasa, shalat, dan mengaku bahwa dia Muslim." 20

Hadits-hadits  ini  dan  hadits-hadits  yang  serupa dengannya menjadikan para  sahabat  mengkhawatirkan  bahwa  diri  mereka termasuk  golongan  munafiq. Sehingga al-Hasan berkata, "Tidak ada yang takut kecuali omng mu'min dan tidak ada  yang  merasa aman darinya kecuali orang munafiq."

Bahkan,  Umar  berkata  kepada  Hudzaifah  yang  pernah diberi penjelasan oleh Nabi saw  mengenai  ciri-ciri  orang  munafiq: "Apakah diriku termasuk golongan mereka?"

Umar  r.a.  pernah  memperingatkan  adanya  orang munafiq yang cerdik pandai, sehingga ada orang  yang  bertanya,  "Bagaimana mungkin  ada orang munafiq yang pandai?" Dia menjawab: "Pandai lidahnya, tetapi bodoh hatinya."

Sebagian sahabat berkata, "Ya Allah aku  berlindung  kepada-Mu dan  kekhusyu'an  orang  munafiq?" Lalu ada orang yang berkata kepada  mereka,  "Bagaimanakah  bentuknya  kekhusyu'an   orang munafiq itu?" Dia menjawab, "Badannya kelihatan khusyu' tetapi hatinya tidak khusyu'." 21

DOSA-DOSA BESAR

Setelah kekufuran dan berbagai tingkatannya, maka di  bawahnya ada  kemaksiatan,  yang  terbagi  menjadi dosa-dosa besar, dan dosa-dosa kecil. Dosa besar ialah dosa yang sangat  berbahaya, yang  dapat  menimbulkan  kemurkaan,  laknat Allah, dan neraka Jahanam. Orang yang melakukannya kadang-kadang  harus  dikenai hukum had di dunia ini.

Para   ulama  berselisih  pendapat  dalam  memberikan  batasan terhadap dosa besar ini. Barangkali yang  paling  dekat  ialah kemaksiatan  yang  pelakunya dapat dikenakan had di dunia, dan diancam dengan ancaman yang berat di  akhirat  kelak,  seperti masuk  neraka,  tidak  boleh  memasuki surga, atau mendapatkan kemurkaan  dan  laknat  Allah   SWT.   Itulah   hal-hal   yang menunjukkan besarnya dosa itu.

Ada  pula  nash-nash  agama yang menyebutkan batasannya secara pasti dan mengatakannya ada tujuh 22 macam dosa besar  setelah kemusyrikan;  yaitu: Membunuh orang yang diharamkan oleh Allah untuk membunuhnya kecuali dengan  alasan  yang  benar;  sihir; memakan  riba;  memakan  harta  anak  yatim; menuduh perempuan mukmin melakukan zina;  melakukan  desersi  dalam  peperangan. Sedangkan  hadits-hadits shahih lainnya menyebutkan: Menyakiti kedua hati orang tua, memutuskan tali silaturahim,  menyatakan kesaksian   yang  palsu,  bersumpah  bohong,  meminum  khamar, berzina,  melakukan   homoseksual,   bunuh   diri,   merampok, mempergunakan   barang   orang   lain   secara   tidak  benar, mengeksploitasi orang lain, menyogok, dan meramal.

Termasuk dalam kategori  dosa  besar  ini  ialah  meninggalkan perkara-perkara  fardu  yang  mendasar,  seperti: meninggalkan shalat, tidak membayar zakat, berbuka tanpa  alasan  di  bulan Ramadhan,  dan  tidak  mau melaksanakan ibadah haji bagi orang yang memiliki kemampuan untuk pergi ke tanah suci.

Dosa-dosa besar yang disebutkan oleh  pelbagai  hadits  banyak sekali  macamnya. Oleh karena itu, benarlah apa yang dikatakan oleh hadits, "Tidakkah  telah  saya  beritahukan  kepada  kamu semua mengenai dosa-dosa besar?"23 Kemudian beliau menyebutkan berbagai dosa besar setelah kemusyrikan: menyakiti hati  kedua orangtua, dan mengucapkan persaksian yang palsu.

Dalam sebuah hadits shahih dikatakan bahwa Nabi saw bersabda.

"Sesungguhnya, yang termasuk salah satu dosa besar ialah orang yang melaknat kedua orang tuanya." Kemudian ada seorang sahabat yang bertanya: "Bagaimana mungkin seseorang dapat melaknat kedua orang tuanya?" Nabi saw menjawab, "Seorang lelaki, mencela ayah seorang lelaki, yang lainnya, kemudian lelaki yang ayahnya dicela itu mencela ayah orang yang mencelanya, dan mencela ibunya."24

Yakni orang yang  ayahnya  dicela  itu,  kemudian  membalasnya dengan mencela ayah dan ibunya.

Hadits  Nabi  saw  menganggap  bahwa  pencelaan terhadap kedua orangtua secara tidak langsung termasuk salah satu jenis  dosa besar,  dan bukan hanya termasuk sesuatu yang diharamkan; lalu bagaimana  halnya  dengan  orang  yang  langsung  mencela  dan menyakiti  hati  kedua  orangtuanya?  Bagaimana  halnya dengan orang yang langsung menyiksa dan memukul kedua orang tuanya?

Bagaimana pula dengan  orang  yang  membuat  kehidupan  mereka bagaikan  neraka  jahim  karena  kekerasan  dan perbuatan yang menyakitkan hati?

Syariah agama ini telah  membedakan  antara  kemaksiatan  yang didorong  oleh  suatu  kelemahan dan kemaksiatan yang didorong oleh kezaliman. yang pertama ialah  bagaikan  zina,  dan  yang kedua  ialah  bagaikan riba. Dari riba adalah dosa yang paling berat di sisi  Allah  SWT,  sehingga  al-Qur'an  tidak  pernah mengatakan sesuatu maksiat sebagaimana yang dikatakannya dalam hal riba:

"... dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang- orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu ..." (al-Baqarah: 278-279)

Rasulullah saw yang mulia melaknat orang  yang  memakan  riba, orang  yang  menyuruh orang lain memakan riba, penulisnya, dan kedua saksi atas perbuatan riba itu, sambil bersabda,

"Satu dirham riba yang dimakan oleh seorang lelaki dan dia mengetahui, maka hal itu lebih berat daripada tiga puluh enam kali berzina."25

Dan beliau  membagi  riba  menjadi  tujuh  puluh  macam,  atau tujuhpuluh dua atau tujuh puluh tiga macam. Yang paling rendah dari berbagai macam  bentuk  itu  ialah  seorang  lelaki  yang menikahi ibunya.26
 
Catatan Kaki:
 
3 Diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Nasai, Ibn Hibban, dan Hakim dari Buraidah, sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir (4143)
4 Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Jabir, ibid., (2848)
5 Lihatlah hadits~hadits ini dalam al-Mughni, 3:356; yang ditahqiq oleh Dr. Taraki dan Dr. Halwa.
6 Muttafaq 'Alaih dari Ibn Mas'ud, al-Lu'lu' wa al-Marjan (43)
7 Muttafaq 'Alaih dari Ibn Umar, ibid., 39
8 Lihat al-Mughni, 3:351-359
9 Diriwayatkan oleh Ahmad, dan Muslim dari Abu Hurairah r.a.(Shahih al-Jami' as-Shaghir: 138).
10 Diriwayatkan oleh Abu Dawud (3904); Tirmidzi (135); dan Ibn Majah (939).
11 Diriwayatkan oleh Ahmad, Hakim, dari Abu Hurairah r.a. (Shahih al-Jami' as-Shaghir).
12 Muttafaq 'Alaih dari Jarir dan Ibn Umar, sebagaimanadisebutkan dalam al-Lu'lu'wal-Marjan (44) dan (45).
13 Lihat rincian yang berkaitan dengan masalah ini dalam fatwa- fatwa yang terperinci dalam buku kami yang berjudul, Fatawa Mu'ashirah, juz 2, bagian Fatwa: al-Hukm bi ghair ma Anzala Allah.
14 Lihat Madarij as-Salikin, 1: 335-337
15 Surat as-Syu'ara', 97-98
16 Diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, dan Hakim dari Ibn Umar (Shahih al-Jami' as-Shaghir, 8462)
17 Lihat Madarij as-Salikin, 1:344-346.
18 Muttafaq 'Alaih, dari Abdullah bin Umar; al-Lu'lu' wal-Marjan (37).
19 Muttafaq 'Alaih, dari Abu Hurairah r.a., ibid., (38).
20 Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. dalam kitab al-Iman, 109, 110.
21 Madarij al-Salikin, 1: 358
22 Lihat makalah kami yang membahas tentang kemurtadan dan cara mengatasinya dalam masyarakat Islam; di dalam buku kami yang berjudul Malaamih al-Majtama' al-Muslim al-ladzi, Nansyuduh, bagian al-'Aqidah wa al-Iman, penerbit Maktabah Wahbah, Kairo.
23 Ada riwayat dari Abu Hurairah r.a. dalam as-Shahihain dan lain-lain, yang mengisyaratkan tentang 41 dosa besar ini, yaitu hadits: "Jauhilah tujuh macam dosa besar (atau hal-hal yang dapat membinasakan)." Al-Lu'lu' wa al-Marjan (56).
24 Hadits Abu Bakar, yang diriwayatkan oleh Muttafaq 'Alaih; al-Lu'lu' wa al-Marjan (54).
25 Diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani dari Abdullah bin Hanzhalah, sebagaimane disebutkan dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir.
26 Diriwayatkan oleh Thabrani dari al-Barra'; al-Hakim dari Ibn Mas'ud; Ibn Majah dari Abu Hurairah r.a. sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir (3537) (3539) dan (3541) 

MELURUSKAN BUDAYA KAUM MUSLIMIN

YANG terpenting dan yang lazim pada hari  ini  dalam  mendidik dan  membekali  pemahaman  ajaran agama terhadap kaum Muslimin ialah memberikan pengetahuan  kepada  mereka  apa  yang  patut mereka  kerjakan  terlebih  dahulu  dan  apa yang mesti mereka akhirkan; serta apa yang seharusnya disingkirkan  dari  budaya kaum Muslimin.

Di   lembaga-lembaga   pendidikan   agama,   universitas   dan fakultas-fakultas  keagamaan,  banyak  sekali  pelajaran  yang menghabiskan  tenaga  dan  waktu  para pelajar untuk melakukankajian terhadap hal itu. Padahal separuh atau seperempat waktu yang dipergunakan untuk itu sebetulnya dapat mereka pergunakan untuk melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi  agama  dan dunia mereka.

Saya dapat menyebutkan, misalnya pada fakultas Usuluddin, kita mengkaji kitab al-Mawaqif karangan al-Iji, berikut  syarah-nya yang  ditulis  oleh  al-Jurjani  beberapa paragraf --dan bukan beberapa bab-- yang berkaitan dengan al-thabi'iyyat dalam buku itu;  atau  bab  al-Muqaddimat.  Dalam  kasus  ini kita sangat lamban memahami dan mencerna kandungan buku itu, dan guru kita juga  lamban dalam memberikan penjelasan dan pemecahan hal-hal yang rumit dan mengungkapkan muatan maknanya.

Misalnya   waktu   itu   kita   pergunakan   untuk   mengikuti perkembangan    aliran    filsafat   modern   dan   memberikan tanggapannya yang ilmiah dan obyektif, atau  mengikuti  sumber rujukan  dasar  dan  syarah  para  imam  besar,  atau menggali pemikiran dan pemahaman yang orisinal dalam  kajian  pembaruan di  dalam  Islam, maka insya Allah banyak kebaikan dan manfaat yang kita peroleh darinya.

Masih banyak lagi kelemahan yang terjadi dalam lembaga-lembaga dan  institusi  pendidikan  tersebut; karena di sana masih ada kelebihan waktu yang dipergunakan untuk mengkaji suatu  materi tertentu,  sedangkan  materi yang lain tidak mendapatkan waktu untuk dikaji.

Sebetulnya "ilmu kalam" yang dipelajari  mengikuti  metodologi yang kuno sangat memerlukan sentuhan pembaruan, agar dia dapat menyampaikan pesan al-Qur'an kepada fitrah manusia, serta akal dan  hati  mereka secara bersamaan. Sepatutnya dia sudah tidak lagi memakai metodologi filsafat  Yunani;  di  mana  Imam  Ibn al-Wazir  pernah  menulis  sebuah  buku  yang  sangat berharga dengan judul Tarjih Asalib al-Qur'an ala Asalib al-Yunan.

Ilmu kalam perlu juga diasah dengan ilmu dan peradaban modern, berikut  bukti-bukti  dan tanda-tanda kebesaran Tuhan yang ada di alam semesta ini, untuk memperkuat keimanan,  dan  mengikis kemusyrikan;  sebagaimana  buku-buku  yang sangat terkenal dan telah ditulis dalam bidang ini; seperti  buku:  al-'Ilm  Yad'u ila  al-Iman  (Ilmu  Pengetahuan  Mendorong  kepada Keimanan); Allah Yatajalla fi 'Ashr al-'Ilm (Allah Menjelma di  Era  Ilmu Pengetahuan);   Ma'a  Allah  fi  al-Sama'  (Bersama  Allah  di langit);  Allah  wa  al-'Ilm   al-Hadits   (Allah   dan   Ilmu Pengetahuan Modern), dan lain-lain.

Ilmu  fiqh  sudah masanya dipermudah bagi umat manusia, dengan penampilan yang baru, dengan  penekanan  terhadap  kepentingan manusia  pada  abad  ini;  yang  mencakup  pembahasan  tentang perseroan, transaksi, perbankan, perjanjian-perjanjian modern, hubungan  internasional,  dan  penerjemahan  ukuran nilai mata uang, takaran, timbangan,  ukuran  panjang  yang  lama  kepada bahasa modern.

Di samping itu, kita mesti memperhatikan peradaban yang hendak kita berikan kepada kaum Muslimin, dan pentingnya  menciptakanvariasi  terhadap  peradaban  tersebut.  Dan  harus  dibedakan peradaban  yang  diberikan  kepada  orang  yang  terdidik  dan masyarakat  awam  yang  terdiri  atas  para buruh, petani, dan lain-lain.

Kebanyakan para juru da'wah dan para guru  --serta  kebanyakan para  penulis-- hanya mengisi otak masyarakat dengan pemikiran dan pengetahuan agama yang diulang-ulang,  dan  dihafal,  yang tidak  didukung  dengan  dalil  yang diturunkan oleh Allah SWT serta  dalil-dalil  hukum  agama.  Mereka  hanya  menyampaikan tafsir  Israiliyat,  dan  hadis-hadis  lemah  dan maudhu, yang tidak ada sumbernya.

Misalnya pembicaraan mengenai "Hakikat dan Syariah";  "Hakikat Muhammad"  atau  sesungguhnya  Nabi  adalah makhluk Allah yang pertama kali; atau pembahasan yang berlebihan di seputar dunia "Para  Wali", "Keramat": yang tidak didasari dengan dalil dari ajaran agama, dan bukti ilmiah, serta logika yang benar.

Perbuatan yang serupa dengan ini ialah  kesibukan  orang-orang terhadap  masalah-masalah khilafiyah antara satu mazhab dengan mazhab yang lain; atau menyulut  pertarungan  bersama  gerakan tasawuf,  atau  pelbagai  kelompok  tasawuf,  dengan  berbagai persoalannya yang termasuk sunnah dan bid'ah, yang  betul  dan yang menyimpang. Kita mesti membuat prioritas terhadap masalah ini dan tidak boleh  membuat  generalisasi  dalam  hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah tersebut.

MAKRUH

BAGIAN paling  rendah  dalam  rangkaian  perkara-perkara  yang dilarang   adalah   perkara   makruh;  yaitu  makruh  tanzihi. Sebagaimana  diketahui,  makruh  ini  ada  dua  macam;  makruh tahrimi  dan  makruh  tanzihi.  Makruh  tahrimi  ialah perkara makruh yang lebih dekat kepada haram; sedangkan makruh tanzihi ialah   yang   lebih  dekat  kepada  halal.  Dan  itulah  yang dimaksudkan dengan istilah makruh pada umumnya.

Banyak sekali  contoh  yang  kita  kenal  dalam  perkara  ini. Barangsiapa  yang pernah membaca buku Riyadh as-Shalihin, yang ditulis oleh  Imam  Nawawi,  maka  dia  akan  dapat  menemukan berbagai  contoh  tentang  perkara  yang  makruh  ini. Seperti makruhnya orang yang makan sambil bersandar, minum dari  bawah bejana  air,  meniup minuman, beristinja' dengan tangan kanan, memegang farji dengan tangan kanan tanpa adanya uzur, berjalan dengan  satu sandal, bertengkar di masjid dan mengangkat suara di dalamnya, berbisik di masjid pada hari  Jumat  ketika  imam sedang  berkhotbah,  membesar-besarkan suara ketika berbicara, mengucapkan doa, "Ya Allah ampunilah dosaku kalau engkau mau." "Kalau   Allah   dan  Fulan  menghendaki",  berbincang-bincang setelah makan malam yang paling akhir, shalat  ketika  makanan sudah  dihidangkan,  mengkhususkan  hari Jumat untuk berpuasa, atau untuk melakukan Qiyamul Lail.

Perkara yang  makruh  --sebagaimana  didefinisikan  oleh  para ulama--   ialah   perkara   yang   apabila  ditinggalkan  kita mendapatkan pahala, dan apabila dikerjakan  tidak  mendapatkan dosa.

Oleh  karena  itu,  tidak  ada siksa bagi orang yang melakukan perkara yang dianggap makruh  tanzihi.  Hanya  saja,  ia  akan dikecam  apabila  melakukan  sesuatu  yang  pantas mendapatkan kecaman apalagi jika ia melakukannya berulang-ulang.

Akan tetapi, kita  tidak  perlu  menganggap  mungkar  tindakan semacan ini (makruh tanzihi); agar mereka tidak terjebak dalam kesibukan memerangi hal-hal yang makruh padahal di  saat  yang sama  mereka  sedang  melakukan  hal-hal yang jelas diharamkan oleh agama.

KEMAKSIATAN BESAR YANG DILAKUKAN OLEH HATI MANUSIA

DOSA-DOSA besar itu tidak hanya terbatas kepada  amalan-amalan lahiriah,  sebagaimana  anggapan  orang  banyak,  akan  tetapi kemaksiatan yang lebih besar dosanya dan lebih berbahaya ialah yang dilakukan oleh hati manusia.

Amalan yang dilakukan oleh hati manusia adalah lebih besar dan lebih  utama  daripada  amalan  yang  dilakukan  oleh  anggota tubuhnya.  Begitu  pula halnya kemaksiatan yang dilakukan oleh hati  manusia  juga  lebih  besar  dosanya  dan  lebih   besar bahayanya.
 
KEMAKSIATAN ADAM DAN KEMAKSIATAN IBLIS

Al-Qur'an telah menyebutkan kepada kita dua bentuk kemaksiatan yang  mula-mula  terjadi  setelah terciptanya Adam dan setelah dia ditempatkan di surga.

Pertama, kemaksiatan yang dilakukan  oleh  Adam  dan  istrinya ketika  dia  memakan  buah dari pohon yang dilarang oleh Allah SWT.  Itulah   jenis   kemaksiatan   yang   berkaitan   dengan amalan-amalan  anggota tubuh yang lahiriah, yang didorong oleh kelupaan   dan   kelemahan   kehendak   manusia;   sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

"Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat." (Thaha: 115)

Iblis terlaknat tidak  menyia-nyiakan  kesempatan  itu,  yaitu ketika  Adam  lupa  dan  lemah  kekuatannya. Iblis menampakkan kepada Adam dan istrinya bahwa larangan  Allah  untuk  memakan buah  pohon  itu sebagai sesuatu yang indah. Ia menipu mereka, dan menjanjikan sesuatu kepada mereka sehingga mereka terjatuh ke dalam janji-janji manis Iblis.

Akan  tetapi,  Adam  dan istrinya segera tersadarkan iman yang bersemayam di dalam hati mereka, dan mereka  mengetahui  bahwa mereka   telah   melanggar  larangan  Allah;  kemudian  mereka bertobat kepada Tuhannya, dan Allah SWT menerima tobat mereka:

"... dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk." (Thaha: 121-122)

Keduanya berkata, "Ya tuhan kami, kami telah  menganiaya  diri kami  sendiri,  dan  jika  Engkau  tidak  mengampuni  kami dan memberi rahmat kepada kami,  niscaya  pastilah  kami  termasuk orang-orang yang merugi." (al-A'raf: 23)

"Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (al-Baqarah: 37)

Kedua,  kemaksiatan  yang  dilakukan  oleh  Iblis  ketika  dia diperintahkan  oleh  Allah  --bersama  para  malaikat--  untuk bersujud kepada  Adam  sebagai  penghormatan  kepadanya,  yang diciptakan  oleh  Allah  SWT dengan kedua tangan-Nya, kemudian Dia tiupkan ruh kepadanya.

"Maka bersujudlah para malaikat itu bersama-sama, kecuali Iblis. Ia enggan ikut bersama-sama malaikat yang sujud itu. Allah berfirman: "Hai lblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?" Berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk." Allah berfirman: "Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk. Dan sesungguhnya kutukan itu akan tetap menimpamu hingga hari kiamat kelak."" (al-Hijr: 30-35)

Itulah keengganan  dan  kesombongan  terhadap  perintah  Allah sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah:

"... maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir." (al-Baqarah: 34)

Iblis membantah dan berkata kepada Tuhannya dengan sombongnya:
  
"... Aku lebih baik daripada dirinya. engkau ciptakan saya dari api sedang dia engkau ciptakan dari tanah." (al-A'raf: 12)

Perbedaan antara kedua bentuk kemaksiatan tersebut ialah bahwa kemaksiatan   Adam  adalah  kemaksiatan  yang  dilakukan  oleh anggota badan  yang  tampak,  kemudian  dia  segera  bertobat. Sedangkan kemaksiatan Iblis adalah kemaksiatan dalam hati yang tidak tampak; yang sudah barang tentu akan diberi balasan yang sangat buruk oleh Allah SWT. Kami berlindung kepada Allah dari segala kemaksiatan tersebut.

Tidak heranlah bahwa setelah itu datang peringatan yang sangat keras  terhadap  kita  dari  melakukan kemaksiatan dalam hati, yang   digolongkan   kepada   dosa-dosa   besar.    Kebanyakan kemaksiatan dalam hati itu adalah pendorong kepada kemaksiatan besar yang dilakukan oleh  anggota  tubuh  kita  yang  tampak; dalam  bentuk  meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah, atau melakukan segala larangannya.
 
KESOMBONGAN

Sebagaimana yang kita ketahui dari kisah Iblis bersama  dengan
Adam,  kesombongan  dapat  mendorong kepada penolakan terhadap
perintah Allah SWT. Dia berfirman:

"Berkata Iblis: 'Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal dari) lumpur hitam yang diberi bentuk.'" (al-Hijr: 33)
  
"... Aku lebih baik daripada dirinya..." (Shad: 76)

Atas dasar itulah kita  diperingatkan  untuk  tidak  melakukan kesombongan  dan  melakukan  penghinaan  terhadap  orang lain; sehingga Rasulullah saw bersabda,

"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat setitik kesombongan."27

Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan,

"Kemegahan adalah kain-Ku, kesombongan adalah selendang-Ku, dan barangsiapa yang merebutnya dari-Ku, maka Aku akan menyiksanya." 28

Dalam hadits yang lain disebutkan,

"Seseorang akan dianggap telah melakukan keburukan apabila dia menghina saudaranya sesama Muslim." 29
  
"Barangsiapa yang mengulurkan pakaiannya (memanjangkan pakaian yang dikenakannya secara berlebihan) maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat kelak."30

Selain dari hadits-hadits tersebut, al-Qur'an  dalam  berbagai ayatnya   mencela   orang   yang  melakukan  kesombongan,  dan menjelaskan bahwa  kesombongan  mencegah  banyak  orang  untuk beriman  kepada  Rasulullah  saw, sekaligus menjerumuskan diri mereka ke neraka Jahanam:

"Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dankesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini(kebenarannya)..." (an-Nahl: 14)
  
"Maka masuklah pintu-pintu neraka Jahanam, kamu kekal didalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yangmenyombongkan diri itu (an-Nahl: 29)
  
"... Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yangsombong." (an-Nahl: 23)
  
"... Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang." (Ghafir: 35)
  
"Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku..." (al-A'raf: 146)
 
KEDENGKIAN DAN KEBENCIAN

Dalam kisah dua orang anak  nabi  Adam  yang  dikisahkan  oleh al-Qur'an kepada kita, kita dapat menemukan kedengkian (hasad) yang mendorong kepada salah seorang di antara  dua  bersaudara itu untuk membunuh saudaranya yang berhati baik.

"Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua anak Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu." Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa." "Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam." "Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim." Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?." Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. (al-Ma'idah: 27-31)

Al-Qur'an memerintahkan kita  untuk  berlindung  kepada  Allah dari kejahatan orang-orang yang dengki.

"Dan dari kejahatan orang dengki apabila dia sedangdengki." (al-Falaq: 5)

Al-Qur'an mengatakan bahwa hasad adalah salah satu sifat orang Yahudi.

"Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad)lantaran, karunia yang telah diberikan oleh Allah kepadamanusia itu.?..." (an-Nisa': 54)

Allah menjadikan hasad sebagai salah satu penghalang  keimanan terhadap ajaran Islam, dan merupakan salah satu sebab penipuan terhadapnya:

"Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki (yang timbul) dari diri mereka sendiri setelah nyata bagi mereka kebenaran..." (al-Baqarah: 109)

Rasulullah  saw  mengatakan  bahwa  kedengkian  dan  kebencian merupakan  salah satu penyakit umat yang sangat berbahaya, dan sangat mempengaruhi agamanya. Beliau saw bersabda,

"Penyakit umat terdahulu telah merambah kepada kamu semua yaitu: kebencian dan kedengkian. Kebencian itu adalah pencukur. Aku tidak berkata pencukur rambut, tetapi pencukur agama." 31

Dalam hadits yang lain disebutkan,

"Tidak akan bertemu di dalam diri seorang hamba, keimanan dan kedengkian."32

Rasulullah saw bersabda,

"Manusia akan tetap berada di dalam kebaikan selama dia tidak mempunyai rasa dengki"33
 
KEKIKIRAN YANG DIPERTURUTKAN

Di antara bentuk kemaksiatan hati yang besar  ialah  tiga  hal yang   dianggap   merusak   kehidupan   manusia,   yang   kita diperingatkan oleh hadits Nabi  saw  untuk  menjauhinya:  "Ada tiga  hal  yang dianggap dapat membinasakan kehidupan manusia, yaitu kekikiran (kebakhilan) yang dipatuhi,  hawa  nafsu  yang diikuti, dan ketakjuban orang terhadap dirinya sendiri."34

Banyak sekali hadits yang mencela sifat kikir ini:

"Kekikiran dan keimanan selamanya tidak akan bertemu dalam hati seorang hamba." 35
  
"Keburukan yang ada di dalam diri seseorang ialah, kekikiran yang meresahkan dan sikap pengecut yang melucuti." 36
  
"Jauhilah kezaliman, karena sesungguhnya kezaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat. Dan jauhilah kekikiran, karena sesungguhnya kekikiran itu telah membinasakan orang-orang sebelum kamu; karena ia membuat mereka menumpahlan darah dan menghalalkan hal-hal yang diharamkan bagi mereka." 37
  
"Jauhilah kekikiran, karena sesungguhnya umat sebelum kamu telah binasa karena kekikiran ini. Kekikiran itu menyuruh memutuskan silaturahmi, maka mereka memutuskannya; kekikiran itu menyuruh bakhil, maka mereka bakhil; kekikiran itu menyuruh berbuat keji, maka mereka berbuat keji." 38

Para ulama berkata, "Kikir adalah sifat bakhil  yang  disertai dengan  tamak. Ia melebihi keengganan untuk memberikan sesuatu karena  kebakhilan.  Bakhil  hanyalah   untuk   hal-hal   yang berkaitan  dengan  pemberian harta benda saja, sedangkan kikir berkaitan dengan pemberian harta benda dan juga kebaikan  atau ketaatan.  Dan kekikiran yang meresahkan (al-syukhkh al-hali') ialah yang membuat pelakunya selalu resah, dan sangat gelisah. Artinya,  dia selalu gelisah dan khawatir bila ada haknya yang diminta orang." Mereka  berkata,  "Kekikiran  selamanya  tidak pernah  akan bertemu dengan pengetahuan terhadap Allah. Karena sesungguhnya keengganan  untuk  menafkahkan  harta  benda  dan memberikannya  kepada  orang  lain adalah karena takut miskin, dan  ini  merupakan  kebodohan  terhadap  Allah,   dan   tidak mempercayai  janji  dan  jaminannya.  Atas dasar itulah hadits Nabi saw menafikan pertemuan antara kekikiran dan keimanan  di dalam hati manusia. Masing-masing menolak yang lain.
 
HAWA NAFSU YANG DITURUTI

Di  antara  hal-hal  yang  dapat  membinasakan   (al-muhlikat) manusia sebagaimana disebutkan oleh hadits Nabi saw ialah hawa nafsu yang dituruti; yang juga  diperingatkan  oleh  al-Qur'an dalam berbagai ayatnya. Allah SWT pernah berkata kepada Dawud:

"Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu penguasa di maka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesathan kamu dari jalan Allah..." (Shad: 26)

Allah SWT berfirman kepada Rasul-Nya yang terakhir:

"... dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah hal itu melewati batas." (al-Kahfi: 28)
  
"... dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun..." (al-Qashash: 50)
  
"... Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka." (Muhammad: 16)

Al-Qur'an menjelaskan bahwa  mengikuti  hawa  nafsu  itu  akan membuat seseorang buta dan tuli, dan tersesat tidak mengetahui apa-apa, hatinya tertutup, sehingga dia tidak  dapat  melihat, mendengar,  dan  menyadari  apa yang sedang terjadi di sekitar dirinya:

"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)..." (al-Jatsiyah: 23)

Oleh sebab itu, Ibn Abbas berkata, "Tuhan manusia yang  paling jelek di bumi ialah hawa nafsu."

Al-Qur'an meletakkan pencegahan hawa nafsu sebagai kunci untuk masuk  surga; sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

"Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya." (an-Nazi'at: 40-41)
 
TA'AJUB TERHADAP DIRI SENDIRI

Perkara ketiga yang  dapat  membinasakan  manusia  sebagaimana disebutkan dalam hadits ialah berbangga terhadap diri sendiri. Sesungguhnya orang yang  berbangga  terhadap  dirinya  sendiri tidak  akan  dapat  melihat aib yang ada pada dirinya walaupun aib itu sangat besar, tetapi dia dapat melihat  kelebihan  dan kebaikan  dirinya sebagaimana mikroskop yang dapat memperbesar hal-hal yang kecil dalam dirinya.

Al-Qur'an telah menyebutkan bagaimana kebanggaan kaum Muslimin terhadap diri mereka pada waktu Perang Hunain yang menyebabkan kekalahan, sehingga mereka menyadari keadaan itu  dan  kembali kepada Tuhan mereka.

"Sesungguhnya Allah menolong kamu (hai para Mukmin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya..." (at-Taubah: 25-26)

Ali r.a. berkata, "Keburukan yang engkau lakukan adalah  lebihbaik  daripada kebaikan di sisi Allah yang membuatmu berbangga diri."

Atha, mengutip makna ucapan Ali kemudian dia  mengungkapkannya di   dalam   hikmahnya:  "Barangkali  Allah  membukakan  pintu ketaatan  tetapi  tidak  membukakan  bagimu  pintu  penerimaan amalan  itu;  barangkali  Dia  menakdirkan bagimu kemaksiatan, tetapi  hal  itu  menjadi  sebab  sampainya  kamu   kepadaNya .Kemaksiatan yang menyebabkan dirimu terhina dan tercerai-berai adalah lebih baik daripada ketaatan  yang  menyebabkan  dirimu berbangga dan menyombongkan diri."
 
RIYA' (MEMAMERKAN DIRI) 39

Di antara kemaksiatan hati yang dianggap  besar  ialah  riya'; yang   menyebabkan   batalnya  dan  tidak  diterimanya  amalan seseorang di sisi Allah SWT, walaupun pada lahirnya amalan itu tampak   baik   dan  indah  menurut  Pandangan  manusia.Ketika berbicara tentang orang-orang munafiq, Allah SWT

"... Mereka bermaksud riya' (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali." (an-Nisa': 142)
  
"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. Yaituorang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yangberbuat riya', dan enggan (menolong dengan) barangberguna." (al-Ma'un: 4-7)
  
"... maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yangdi atasnya ada tanah kemudian batu itu ditimpa hajanlebat, lalu menjadilah dia bersih..." (al-Baqarah: 264)

Sejumlah hadits menyebutkan bahwa riya' merupakan  salah  satu bentut  kemusyrikan.  Amalan  yang  dilakukan  oleh orang yang riya' tidak dituiukan untuk mencari keridhaan Allah SWT tetapi dilakukan  untuk  mencari  popularitas,  pujian, dan sanjungan dari masyarakat.

Oleh sebab itu, di dalam sebuah hadits qudsi disebutkan:  "Aku adalah  sekutu  yang  paling  kaya. Maka barangsiapa melakukan amalan dengan menyekutukan diri-Ku dengan  yang  lainnya  maka Aku  akan  meninggalkannya  dan sekutunya." Dalam riwayat yang lain disebutkan: "Maka Aku akan berlepas diri darinya, dan Dia akan bersama sekutunya."40

Ada sebuah hadits yang sangat terkenal, yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. mengenai tiga  orang  yang  pada hari  kiamat  kelak,  digiring  ke  api neraka; pertama adalah orang yang berperang sampai dia menjadi syahid;  kedua  adalah orang  yang  belajar  ilmu pengetahuan dan mengajarkannya, dan membaca  al-Qur'an;  ketiga  adalah  orang  yang   menafkahkan hartanya  pada kebaikan. Akan tetapi Allah SWT Maha Mengetahui niat-niat  dan  rahasia  mereka.  Allah  menyatakan  kedustaan mereka  dan  menunjukkan bukti-buktinya serta berfirman kepada setiap  orang   di   antara   mereka,   "Sesungguhnya   engkau melaksanakan  ini  dan itu adalah agar supaya orang mengatakan bahwa dirimu begini dan begitu."

Sesungguhnya  kepalsuan  dan  penipuan  yang  dilakukan   oleh manusia  seperti  itu  terhadap sesama manusia merupakan sifat yang sangat buruk. Lalu bagaimana halnya dengan kepalsuan yang dilakukan   oleh   makhluk   kepada  Khaliq-nya.  Sesungguhnya perbuatan seperti  itu  lebih  keji  dan  lebih  buruk  Itulah perbuatan  yang  dilakukan  oleh  orang-orang  yang  melakukan riya',  yang  berbuat  untuk  memperoleh  pujian  orang.   Dia melakukan  semuanya  untuk  memperoleh  kepuasan  orang,  yang bohong dan semu. Maka tidak diragukan  lagi  bahwa  Allah  SWT akan  murka  kepadanya  dan  akan mengungkapkan segala rahasia yang tersimpan di dalam hatinya kelak  pada  hari  kiamat  dan akan  memasukkannya  ke  neraka.  Tiada daya dan upaya kecuali dengan Allah SWT.
 
CINTA DUNIA

Di antara kemaksiatan hati lainnya yang dianggap  besar  ialah cinta  dunia  dan  lebih mengutamakannya daripada akhirat. Hal ini merupakan sebab setiap kesalahan yang dilakukannya. Bahaya yang  ditimbulkannya  bukan terletak pada pemilikan dunia itu, tetapi keinginan dan ketamakan atas dunia dengan segala  macam perhiasannya.  Jika  ada  kesempatan  untuk meraih kepentingan dunia  dan  akhirat,  maka  orang   itu   lebih   mengutamakan kepentingan  yang pertama daripada kepentingan yang kedua. Dan inilah yang menyebabkan kehancurannya di dunia dan di  akhirat kelak. Allah SWT berfirman:

"Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya." (an-Nazi'at: 37-39)
  
"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami beriman kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (Hud: 15-16)
  
"Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka..." (an-Najm: 29-30)
  
"Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya." (al-Qashas: 60)

Berkaitan  dengan  urusan  dunia,  ada  sebuah   hadits   yang diriwayatkan  oleh  Ahmad  dan Abu Dawud dari Tsauban "Rahasia wahan yang melanda umat ini walaupun mereka  jumlahnya  sangat banyak: 'cinta dunia dan takut mati.'"


Catatan kaki:
 
27 Muttafaq 'Alaih dari Abdullah bin Amr, al-Lu'lu' wal-Marjan (57).
28 Diriwayatkan oleh Muslim dalam al-Iman, dari Ibn Mas'ud (147).
29 Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. (2564).
30 Muttafaq 'Alaih, dengan lafal dari Bukhari, al-Lu'lu' wal-Marjan (1439).
31 Diriwayatkan oleh Bazzar dari Zubair dengan isnad yang baik; sebagaimana dikatakan oleh Mundziri (al-Muntaqa, 1615); dan al-Haitsami (al-Majma', 8: 3); sebagaimana diriwayatkan oleh Tirmidzi (2512), yang berkata "Ini hadits yang banyak sekali riwayatnya."
32 Diriwayatkan oleh Nasai, 6:13; Ibn Hibban dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah r.a. (al-Mawarid, 1597), yang dinisbatian kepada Shahih al-Jami' as-Shaghir kepada Ahmad dan Hakim (7620).
33 Diriwayatkan oleh Thabrani dengan rawi-rawi yang tsiqah, sebagaimana dikatakan oleh al-Mundziri (al-Muntaqa, 174) dan al-Haitsami (al-Majma', 8:78).
34 Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Awsath dari Anas dan Ibn Umar, yang menganggapnya sebagai hadits hasan dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir, 3030 dan 3045.
35 Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Hurairah r.a. 2:342; Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (270); Nasai, 6:13; Hakim, 2:72; yang di-shahih-kan dan disepakati oleh al-Dzahabi; Ibn Hibban(3251); Syaikh Syu'aib berkata bahwa hadits ini termasuk shahih li ghairih,.
36 Diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dari Abu Hurairah r.a., 9:17. Hafizh al-Iraqi berkata dalam Takhrij al-Ihya': "Isnad hadits ini baik." dan di-shahih-kan oleh Syaikh Syu'aib dalam Takhrij Ibn Hibban; dan diriwayatkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir (3709)
37 Diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir.
38 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibn Umar (1698); dan al-Hakim yang menshahihkannya sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh Muslim, 1:11, dan al-Dzahabi tidak memberikan komentar apa-apa.
39 Riya' ialah melakukan sesuatu amalan tidak untuk mencari keridhaan Allah tetapi untuk mencari popularitas atau pujian dari masyarakat.
40 Riwayat yang pertama diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab az-Zuhd; sedangkan riwayat lainnya diriwayatkan oleh Ibn Majah (4202). Al-Mundziri berkata. "Para rawinya tsiqah." (Al-Muntaqa, 21); al-Bushiri dalam az-Zawa'id berkata,  "Isnad-nya shahih, dan rijal-nya tsiqah."

KEBUTUHAN UMAT KITA SEKARANG AKAN FIQH PRIORITAS

Kacaunya Timbangan Prioritas pada Umat

Apabila  kita  memperhatikan  kehidupan  kita  dari   berbagai sisinya  --baik dari segi material maupun spiritual, dari segi pemikiran, sosial, ekonomi,  politik  ataupun  yang  lainnya-- maka  kita  akan menemukan bahwa timbangan prioritas pada umat sudah tidak seimbang lagi.

Kita dapat menemukan di setiap negara Arab dan Islam  berbagaiperbedaan  yang  sangat  dahsyat,  yaitu  perkara-perkara yang berkenaan   dengan   dunia   seni   dan   hiburan   senantiasa diprioritaskan  dan didahulukan atas persoalan yang menyangkut ilmu pengetahuan dan pendidikan.

Dalam  aktivitas  pemudanya  kita  menemukan  bahwa  perhatian terhadap  olahraga  lebih  diutamakan  atas olah akal pikiran, sehingga  makna  pembinaan  remaja  itu  lebih  berat   kepada pembinaan  sisi  jasmaniah  mereka  dan  bukan  pada sisi yang lainnya. Lalu, apakah  manusia  itu  hanya  badan  saja,  akal pikiran saja, ataukah jiwa saja?

Dahulu  kita  sering  menghafal  sebuah  kasidah  Abu  al-Fath al-Bisti yang sangat terkenal. Yaitu kasidah berikut ini:

"Wahai orang yang menjadi budak badan, sampai kapan engkau hendak mempersembahian perkhidmatan kepadanya.
  
Apakah engkau hendak memperoleh keuntungan darisesuatu yang mengandung kerugian?
  
Berkhidmatlah pula kepada jiwa, dan carilah berbagai keutamaan padanya,
  
Karena engkau dianggap sebagai manusia itu dengan jiwa dan bukan dengan badan"

Kita juga hafal apa yang dikatakan oleh Zuhair ibn  Abi  Salma dalam Mu'allaqat-nya:

"Lidah seorang pemuda itu setengah harga dirinya, dan setengah lagi adalah hatinya. Jika keduanya tidak ada pada dirinya, maka dia tiada lain hanya segumpal daging dan darah."

Akan  tetapi  kita  sekarang  ini  menyaksikan  bahwa  manusia dianggap   sebagai  manusia  dengan  badan  dan  otot-ototnya, sebelum menimbang segala sesuatunya.

Pada musim panas tahun lalu (1993),  tiada  perbincangan  yang terjadi di Mesir kecuali perbincangan di seputar bintang sepak bola yang dipamerkan untuk dijual. Harga  pemain  ini  semakin meninggi  bila  ada  tawar-menawar  antara beberapa klub sepak bola, sehingga  mencapai  750.000  Junaih  (satuan  mata  uang Mesir).

Jarang   sekali   mereka  yang  mengikuti  perkembangan  dunia olahraga, khususnya  olahraga  yang  bermanfaat  bagi  manusia dalam  kehidupan  mereka  sehari-hari. Mereka hanya menumpukan perhatian terhadap pertandingan olahraga, khususnya sepak bola yang  hanya  dimainkan  beberapa  orang  saja,  sedangkan yang lainnya hanya menjadi penonton mereka.

Sesungguhnya bintang masyarakat, dan nama mereka  yang  paling cemerlang bukanlah ulama atau ilmuwan, bukan pemikir atau juru da'wah; akan tetapi mereka adalah apa yang kita sebut sekarang dengan   para   aktor  dan  aktris,  pemain  sepak  bola,  dan sebagainya.

Surat  kabar  dan   majalah,   televisi   dan   radio,   hanya memperbincangkan   kehidupan,    tingkah   laku,   "kejayaan," petualangan, dan berita  di  sekitar  mereka,  walaupun  tidak berharga.  Sedangkan  orang-orang  selain  mereka tidak pernah diliput, dan bahkan hampir dikesampingkan atau dilupakan.

Apabila ada seorang  seniman  yang  meninggal  dunia,  seluruh dunia   gempar  karena  kematiannya,  dan  semna  surat  kabar berbicara  tentang  kematiannya.  Namun  apabila  ada  seorang ulama,  ilmuwan,  atau  seorang profesor yang meninggal dunia,seakan-akan tidak ada seorangpun yang membicarakannya.

Kalau dilihat dari  segi  material,  perhatian  mereka  kepada dunia  olahraga  dan  seni  memakan biaya sangat tinggi; yaitu untuk membiayai publikasi, dan keamanan penguasa, yang  mereka sebut  sebagai  biaya  "keamanan  negara";  dimana  tidak  ada seorang pun dapat menolak atau mengawasinya. Mengapa semua itu bisa terjadi?

Pada  saat  yang  sama,  lapangan dunia pendidikan, kesehatan, agama, dan perkhidmatan umum, sangat sedikit mendapat dukungan dana;   dengan   alasan   tidak  mampu  atau  untuk  melakukanpenghematan, terutama apabila ada sebagian orang yang  meminta kepada  mereka  sumbangan  untuk  melakukan peningkatan sumber daya  manusia  dalam  rangka  menghadapi  perkembangan  zaman. Persoalannya adalah seperti yang dikatakan orang: "Penghematan di  satu  sisi,  tetapi  di  sisi  lain  terjadi  pemborosan"; sebagaimana  yang pernah dikatakan Ibn al-Muqaffa,: "Aku tidak melihat suatu pemborosan terjadi kecuali di sampingnya ada hak yang dirampas oleh orang yang melakukan pemborosan itu."
 
Penyimpangan Orang-orang Beragama Dewasa ini dalam Fiqh Prioritas

Penyimpangan terhadap masalah fiqh ini tidak hanya terjadi  di kalangan  awam kaum Muslimin, atau orang-orang yang menyimpang dari jalan yang lurus di kalangan mereka, tetapi  penyimpangan itu  juga  dilakukan oleh orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada agama ini, karena tidak  adanya  fiqh  dan  pengetahuan yang benar.

Sesungguhnya   ilmu   pengetahuanlah   yang  menjelaskan  mana perbuatan yang diterima dan mana perbuatan yang ditolak;  mana perbuatan yang diutamakan dan mana pula yang tidak diutamakan. Ilmu pengetahuan juga menjelaskan  perbuatan  yang  benar  dan juga  perbuatan yang rusak; perbuatan yang dikabulkan dan yang ditolak; perbuatan yang termasuk  sunnah  dan  perbuatan  yang termasuk  bid'ah.  Setiap  perbuatan  disebutkan  "harga"  dan nilainya, menurut pandangan agama.

Kebanyakan mereka tidak mendapatkan  cahaya  ilmu  pengetahuan dan  arahan  dari  fiqh  yang  benar. Mereka telah memusnahkan batas antara pelbagai macam  amalan  dan  tidak  membedakannya satu sama lain; atau mereka menetapkannya di luar hukum agama, sehingga ketetapan mereka kurang atau malah berlebihan.  Dalam kasus  seperti  ini,  agama  akan  hilang di tangan orang yang sangat berlebihan dan melampaui batas dan  orang  yang  kurang memiliki pengetahuan tentang agama itu.

Seringkali kita menyaksikan orang-orang seperti ini --walaupun sebenarnya   mereka   adalah   orang-orang    yang    memiliki keikhlasan-- menyibukkan diri dengan perbuatan yang tidak kuat (marjuh), dan mereka menganggapnya sebagai  amalan  yang  kuat (rajih).  Mereka  sibuk  dengan  perbuatan  yang  bukan  utama (mafdhul) dan melalaikan perbuatan yang utama (fadhil).

Kadang-kadang, satu perbuatan  itu  pada  suatu  masa  dinilai sebagai  perbuatan  yang utama (fadhil), tetapi pada masa yang lain ia bukan perbuatan yang utama (mafdhul); atau pada  suatu suasana  tertentu perbuatan itu bisa dinilai kuat (rajih), dan pada kondisi yang lain  tidak  bisa  diterima  (marjuh).  Akan tetapi,   karena   pengetahuan  dan  pemahaman  mereka  sangat sedikit, maka mereka tidak mampu membedakan  antara  dua  masa dan suasana yang berlainan itu.

Saya  pernah  melihat  orang-orang Muslim yang baik hati, yang mau menyumbang pembangunan sebuah masjid di kawasan yang sudah banyak  masjidnya,  yang  kadang-kadang pembangunan masjid itu memakan biaya setengah atau satu juta Junaih  atau  satu  juta dolar.  Akan  tetapi  bila dia dimintai sumbangan sebesar itu, separuhnya,  atau  seperempat  daripada   jumlah   itu   untuk mengembangkan   da'wah   Islam,   memberantas   kekufuran  dan kemusyrikan,  mendukung  kegiatan   Islam   untuk   menegakkan syari'ah  agama,  atau  kegiatan-kegiatan  lain  yang memiliki tujuan besar, yang kadang-kadang ada  orangnya  tetapi  mereka tidak  memiliki  dana  untuk  itu.  Orang-orang  yang  memberi bantuan pembangunan  masjid  di  atas,  hampir  seperti  orang pekak,  dan  tidak  memberikan  tanggapan  sama  sekali karena mereka lebih percaya kepada membangun batu daripada  membangun manusia.

Setiap  tahun, pada musim haji saya menyaksikan sejumlah besar kaum Muslim yang kaya  raya,  yang  datang  berbondong-bondong untuk  melaksanakan  ibadah sunnah di musim itu, karena mereka telah  seringkali  melaksanakan  ibadah  haji,  dan  melakukan ibadah  umrah di bulan Ramadhan. Untuk itu mereka mengeluarkan dana yang cukup besar dengan mudah, tetapi pada saat yang sama banyak  orang  miskin  yang  memerlukan  bantuan  dari mereka. Sebenarnya Allah juga tidak  membebankan  kewajiban  haji  dan umrah atas diri mereka.

Akan tetapi, manakala dana tahunan yang mereka keluarkan untuk itu diminta untuk memerangi orang-orang Yahudi  di  Palestina; membantu  kaum  Muslimin  di Serbia, Bosnia, Herzegovina; atau untuk menghadapi  gerakan  Kristenisasi  di  Bangladesh,  atau negara-negara  Afrika dan negara-negara Asia Tenggara lainnya; atau untuk membangun pusat-pusat  Islam  atau  mencetak  kader da'wah   yang   memiliki   spesialisasi   di  berbagai  bidang kehidupan; atau untuk mencetak, menerjemahkan, dan menerbitkan buku-buku  Islam  yang  sangat  bermanfaat, mereka memalingkan muka, dan menyombongkan diri.

Padahal telah ada ketetapan dengan jelas  di  dalam  al-Qur'an bahwa  jenis  perbuatan  perjuangan  itu  lebih utama daripada jenis perbuatan  ibadah  haji;  sebagaimana  difirmankan  oleh Allah SWT:

"Apakah orang-orang yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan ibadah haji dan mengurus Masjid al-Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum Muslimin yang zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal. (at-Taubah: 19-21)

Mengapa? Karena ibadah haji dan umrah mereka  termasuk  sunnah karena  mereka  telah  melakukannya  berulang  kali; sedangkan perjuangan melawan kekufuran  dan  kemusyrikan,  sekularisasi, dan pemisahan agama dari kehidupan manusia, baik yang didukung oleh kekuatan-kekuatan internal  maupun  eksternal,  merupakan kewajiban kita pada masa sekarang ini.

Pada  musim  haji  dua  tahun yang lalu, salah seorang penulis buku Islam yang  sangat  terkenal,  yaitu  sahabat  saya  yang bernama  Fahmi  Huwaidi,  yang  menulis makalahnya setiap hari Selasa,  mengatakan   secara   terang-terangan   kepada   kaum Muslimin,  "Sesungguhnya upaya penyelamatan kaum Muslim Bosnia lebih utama daripada kewajiban ibadah haji sekarang ini."

Banyak orang yang bertanya kepada saya ketika  mereka  membaca makalah  itu,  sejauh  mana kebenaran ucapan itu bila ditinjau dari segi syari'ah agama dan fiqh? Ketika  itu  saya  menjawab mereka:  "Sesungguhnya  pernyataan penulis itu benar, dan juga benar bila ditinjau dari sudut fiqh, karena  sebenarnya  telah ada  ketetapan  syari'ah  yang menyatakan bahwa kewajiban yang perlu dilakukan dengan segera harus didahulukan atas kewajiban yang  bisa  ditangguhkan.  Ibadah  haji  dalam  hal ini adalah ibadah yang mungkin ditangguhkan. Dan dia merupakan  kewajiban yang  tidak  dituntut untuk dilaksanakan dengan segera menurut sebagian imam mazhab.  Sedangkan  penyelamatan  kaum  Muslimin Bosnia  dari  ancaman  yang  akan  memusnahkan  mereka  karena kelaparan,  kedinginan,  dan  penyakit  dari  satu  segi,  dan pemusnahan   secara  massal  dari  segi  yang  lain  merupakan kewajiban   yang   harus   segera    dilaksanakan.    Tindakan penyelamatan  ini  tidak  dapat  ditangguhkan, dan tidak dapat ditunda-tunda lagi. Ia adalah kewajiban yang berkaitan  dengan waktu  sekarang  ini, sekaligus merupakan kewajiban umat Islam secara menyeluruh pada hari ini.

Tidak diragukan lagi  bahwa  melaksanakan  syiar  ibadah  haji merupakan  sebuah  kewajiban  yang  tidak diperselisihkan oleh umat ini. Kita tidak perlu meniadakan ibadah  itu  pada  suatu musim haji, karena ibadah ini dapat dilakukan oleh orang-orang yang  tinggal  di  sekitar  tanah  suci,  yang   tidak   perlu mengeluarkan biaya yang tinggi untuk melaksanakan ibadah ini.

Saya  memandang  bahwa  apa  yang dikatakan oleh Prof. Huwaidi dapat terlaksana dengan cara  seperti  ini.  Namun  kebanyakan orang-orang  yang  pergi  ke tanah suci pada musim haji setiap tahun  adalah  orang-orang  yang  tidak  lagi  dibebani  untuk melaksanakan  kewajiban  ini, karena mereka telah melakukannya pada masa-masa sebelumnya. Orang-orang  yang  pergi  ke  tanah suci  dan  sebelumnya  belum  pernah  melaksanakan ibadah ini, jumlah mereka tidak lebih dari 15%. Kalau kita asumsikan bahwa jumlah  jamaah  haji  2.000.000  orang, maka jumlah orang yang baru pertama  kali  melakukan  ibadah  ini  tidak  lebih  dari 300.000 orang.

Alangkah  baiknya bila dana yang mereka keluarkan untuk ibadah sunnah itu --di mana jumlah mereka adalah  mayoritas--  begitu pula  orang-orang yang melakukan ibadah umrah sunnah sepanjang tahun, khususnya pada bulan Ramadhan, dialihkan untuk mendanai perjuangan  di  jalan  Allah  SWT;  atau  untuk  menyelamatkan saudara-saudara mereka, muslimin dan muslimat,  yang  terancam kehancuran   secara   material  maupun  spiritual;  dan  untuk membiayai mereka  dalam  menghadapi  musuh-musuh  mereka  yang ganas,  yang  menginjak-injak  kehormatan  mereka,  dan  tidak menginginkan keberadaan mereka di dunia ini. Negara-negara  di dunia  ini  sebenarnya  melihat  dan mendengar keadaan mereka, akan tetapi mereka berdiam diri  dan  tidak  bergerak,  karena sesungguhnya  kemenangan  itu  berada  di  pihak yang kuat-dan bukan kekuatan di pihak yang benar.

Saya menyaksikan sebagian pemeluk agama yang  baik  di  Qatar, dan  negara-negara  teluk  yang  lainnya,  serta di Mesir yang mempunyai keinginan kuat untuk melaksanakan syiar agama, yaitu ibadah  haji  setiap  tahun.  Saya  mengetahui bahwa di antara mereka ada yang telah mengerjakan  ibadah  haji  setiap  tahun sejak  empat  puluh  tahun  yang  lalu.  Mereka  terdiri  atas sekumpulan sanak saudara, handai  tolan,  dan  sahabat  karib. Jumlah  mereka  barangkali  mencapai seratus orang. Pada suatu saat, saya mengingatkan mereka, ketika itu saya baru saja tiba dari suatu lawatan ke salah satu negara di Asia Tenggara. Saya menyaksikan  bahwa  kristenisasi   sedang   dilakukan   secara besar-besaran  di  sana,  dan  kaum  Muslim  sangat memerlukan lembaga-lembaga tandingan untuk menghadapi  gerakan  tersebut, baik   lembaga   yang   bergerak   dalam   bidang  pendidikan, kedokteran, maupun lembaga  yang  bergerak  di  dalam  masalah sosial.   Saya  katakan  kepada  kawan-kawan  yang  baik  itu: "Bagaimanakah pendapat kamu kalau seandainya  pada  tahun  ini kamu  berniat  tidak  melakukan  ibadah haji, lalu biaya untuk melakukan ibadah haji itu disumbangkan untuk biaya  menghadapi kristenisasi.  Kalau  dari setiap orang yang berjumlah seratus itu menyumbangkan 10.000 Junaih, maka jumlahnya  akan  menjadi 1.000.000  Junaih.  Uang sejumlah itu dapat dipergunakan untuk membangun proyek besar. Dan kalau kita mau  memulai  perbuatan seperti ini, kemudian kita umumkan kepada khalayak ramai, maka orang-orang  akan  banyak  yang  mengikuti   perbuatan   kita, sehingga   kita   dapat  memperoleh  juga  pahala  orang  yang mengikuti perbuatan baik kita."

Akan tetapi  sayangnya,  saudara-saudara  kita  itu  menjawab, "Sesungguhnya  kami ini bila bulan Zulhijjah tiba, kami merasa sangat bergembira, kami tidak dapat  menahan  kerinduan  untuk melakukan  ibadah  haji. Kami merasa bahwa ruh-ruh kami dibawa ke  sana.  Kami  merasa  sangat  berbahagia  bila  kami   ikut melaksanakan ibadah haji setiap musim bersama para jamaah haji yang lainnya."

Bisyr al-Hafi pernah  mengatakan,  "Kalau  kaum  Muslimin  mau memahami,  memiliki  keimanan yang benar, dan mengetahui makna fiqh prioritas, maka dia akan merasakan kebahagiaan yang lebih besar  dan suasana kerohanian yang lebih kuat, setiap kali dia dapat  mengalihkan  dana  ibadah  haji  itu  untuk  memelihara anak-anak  yatim,  memberi  makan  orang-orang yang kelaparan, memberi  tempat  perlindungan  orang-orang   yang   terlantar, mengobati  orang  sakit, mendidik orang-orang yang bodoh, atau memberi kesempatan kerja kepada para penganggur."

Saya pernah melihat para remaja yang tekun belajar pada kuliah kedokteran  di  perguruan  tinggi,  fakultas  teknik, fakultas pertanian, fakultas sastra, atau  fakultas-fakultas  ilmu-ilmu umum  yang  lainnya. Mereka berjaya dan memiliki prestasi yang gemilang, akan tetapi tidak lama kemudian mereka  meninggalkan bangku  fakultas-fakultas  tersebut,  dan  merasa tidak sayang untuk  meninggalkannya;  dengan  alasan   untuk   ikut   serta melakukan da'wah dan tabligh; padahal spesialisasi yang mereka jalani termasuk ilmu-ilmu fardhu kifayah, di  mana  umat  akan menderita  bila  tidak  ada  seorangpun  di antara mereka yang memiliki keahlian pada bidang-bidang tersebut. Di samping itu, mereka  juga  dapat  menjadikan  amal  perbuatan  dalam bidang kehidupannya sebagai  ibadah  dan  perjuangan  apabila  mereka melakukannya  sebaik  mungkin  dan  disertai  dengan niat yang baik, serta mengikuti batas-batas yang telah  ditetapkan  oleh Allah SWT.

Jika  setiap  muslim  meninggalkan  profesi mereka, lalu siapa lagi yang hendak melakukan perbuatan yang membawa kemaslahatan untuk  kaum  Muslimin?  Sesungguhnya  Rasulullah  saw dan para sahabatnya  melakukan   pekerjaan   dalam   pelbagai   bidang. Rasulullah  saw  tidak  pernah meminta salah seorang di antara sahabatnya untuk meninggalkan profesinya agar dia  dapat  ikut serta  dalam  berda'wah.  Hal  ini  dilakukan oleh beliau agar setiap orang tetap berada pada profesinya masing-masing,  baik sebelum  atau  sesudah  hijrah.  Orang-orang yang meninggalkan profesi mereka itu apabila diajak untuk  melakukan  peperangan di  jalan Allah, mereka melarikan diri dan merasa berat sekali melangkahkan kakinya untuk berjuang membela  agama  Allah  SWT dengan harta benda dan jiwa mereka.

Imam  al-Ghazali  tidak  setuju  dengan orang-orang yang hidup sezaman dengannya, di mana orang-orang hanya belajar fiqh  dan sejenisnya, padahal pada masa yang sama di negeri mereka tidak ada seorang dokterpun  kecuali  dokter  Yahudi  atau  Nasrani. Semua  kaum  Muslimin  berobat  kepada  mereka.  Ruh dan aurat mereka diserahkan sepenuhnya kepada para dokter itu,  kemudian mereka  melanggar  ketetapan  hukum yang telah ditetapkan oleh agama ini; seperti bolehnya  berbuka  puasa  bagi  orang  yang sedang menjalankan ibadah puasa, dan bolehnya bertayammum bagi orang-orang yang sedang terluka.

Saya juga menyaksikan  kelompok  kaum  Muslimin  lainnya  yang setiap   hari   bertengkar  untuk  mempertahankan  diri  dalam masalah-masalah juz'iyah atau masalah-masalah khilafiyah;  dan di  sisi  lain  mereka  melalaikan perjuangan Islam yang lebih besar dalam melawan musuh-musuhnya yang sangat dengki,  benci, tamak, takut kepadanya, dan senantiasa mengintainya.

Bahkan,  kaum  minoritas  dan  imigran yang tinggal di belahan negara Barat (Amerika, Canada, dan Eropa) ada di antara mereka yang sebagian besar perhatiannya hanya tertumpu kepada masalah jam tangan di mana dia harus dikenakan, apakah di tangan  kiri atau di tangan kanan?

Mengenakan  pakaian  putih  sebagai  ganti  daripada  baju dan pantalon;  apakah  hal  ini  wajib  ataukah  sunnah  hukumnya? Kemudian  masuknya  perempuan  ke masjid; apakah halal ataukah haram hukumnya?

Makan  di  atas  meja  sambil  duduk  di  atas  kursi,  dengan menggunakan  sendok  dan  garpu,  apakah  hal-hal  seperti ini termasuk menyerupai tingkah  laku  orang-orang  kafir  ataukah bukan?

Dan  masalah-masalah  lainnya yang banyak menyita waktu, serta lebih cenderung  memecah  belah  persatuan  umat,  menciptakan kebencian   dan   jurang   pemisah  di  antara  mereka,  serta menghabiskan  energi  dengan  sia-sia,   karena   energi   itu dihabiskan  untuk  sesuatu  yang  tanpa tujuan, dan perjuangan tanpa musuh.

Saya  melihat  beberapa  orang  pemuda  yang  tekun  melakukan ibadah,   tetapi   mereka   memperlakukan   bapak,   ibu,  dan saudara-saudara mereka dengan keras dan  kasar.  Dengan  dalih bahwa  mereka  semua  adalah  pelaku-pelaku  kemaksiatan  atau menyimpang dari ajaran  agama.  Para  pemuda  itu  telah  lupa bahwasanya  Allah  SWT  mewasiatkan  kepada kita untuk berlaku baik terhadap kedua orangtua kita walaupun kedua orangtua kita musyrik dan berusaha untuk membuat kita menjadi musyrik, serta membikin fitnah terhadap agama Islam.

Allah SWT berfirman:

"Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik ..." (Luqman: 15)

Walaupun kedua orangtua kita terus-menerus  berusaha  mengajak kita  kepada kemusyrikan, di mana al-Qur'an menyebutkan dengan istilah "memaksa", namun  al-Qur'an  tetap  menganjurkan  kita untuk  meperlakukan  mereka  dengan  cara  yang  baik.  Karena sesungguhnya kedua orangtua  kita  memiliki  hak  yang  paling tinggi  dan tidak tertandingi kecuali oleh hak Allah SWT. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman:

"... Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah tempat kembalimu." (Luqman: 14)

Mentaati kedua  orangtua  untuk  melakukan  kemusyrikan  tidak dibenarkan  oleh  Islam.  "Tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam melakukan kemaksiatan terhadap  sang  Pencipta."  Adapun memperlakukan  mereka  dengan  sebaik-baiknya  merupakan  satu keharusan yang tidak ada jalan bagi kita untuk menghindarinya.

Selain itu, Allah  SWT  juga  mewasiatkan  kepada  kita  untuk memelihara   hubungan   silaturahim  dan  memperlakukan  sanak saudara  kita  dengan  baik,  sebagaimana   yang   difirmankan oleh-Nya:

"... Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (an-Nisaa': 1)

Pada masa-masa kemunduran, banyak kaum Muslimin yang  terjebak pada  suatu  perbuatan  yang  hingga  hari  ini  masih  mereka lakukan; di antaranya ialah:

1) Mereka tidak mengindahkan --sampai kepada suatu batas yang sangat besar-- fardhu-fardhu kifayah yang berkaitan dengan umat secara menyeluruh. Seperti peningkatan kualitas ilmu pengetahuan, perindustrian, dan kepiawaian dalam peperangan, yang dapat menjadikan umat betul-betul mandiri, dan tidak hanya berada di dalam slogan dan omong kosong belaka; ijtihad dalam masalah fiqh dan penyimpulan hukum; penyebaran da'wah Islam, pendirian pemerintahan yang disepakati bersama berdasarkan janji setia (bai'at) dan pemilihan yang bebas; melawan pemerintahan yang zalim dan menyimpang dari ajaran Islam.
  
2) Di samping itu, mereka juga mengabaikan sebagianfardhu 'ain, atau melaksanakannya tetapi tidak sempurna. Seperti melaksanakan kewajiban amar ma'ruf dan nahi mungkar, di mana Islam menyebutnya terlebih dahulu sebelum menyebut persoalan shalat dan zakat ketika ia menjelaskan sifat-sifat masyarakat yang beriman. Allah SWT berfirman:
  
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, dan mencegah kemungkaran, mendirikan shalat, menunaikan zakat, ..." (at-Taubah: 71)
  
Padahal, sebetulnya amar ma'ruf dan nahi mungkar ini merupakan sebab utama yang membawa kebaikan umat, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:
  
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makfur, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah..." (Ali 'Imran: 110)
  
Pengabaian fardhu 'ain ini pernah menyebabkan turunnya laknat atas bani Israil, melalui lidah para nabi mereka:
  
"Telah dilaknati orang-orang kafir dari bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. N (al-Maidah: 78-79)
  
3) Perhatian mereka tertumpu kepada sebagian rukun Islam lebih banyak dibanding perhatian mereka kepada sebagian rukun yang lain. Ada di antara mereka yang memperhatikan puasa lebih banyak daripada perhatian terhadap shalat. Dan oleh karena itu, kita hampir tidak menemukan orang Muslim lelaki dan perempuan yang makan di siang hari Ramadhan; khususnya di desa-desa pedalaman. Akan tetapi ada kaum Muslimin --khususnya dari kalangan perempuan-- yang malas melakukan shalat. Dan ada orang yang selama hidupnya tulang punggungnya tidak pernah membungkuk untuk ruku' dan sujud kepada Allah. Di samping itu, ada pula orang yang perhatiannya tertumpu kepada shalat lebih banyak daripada perhatian yang dia berikan terhadap zakat; padahal Allah SWT selalu mengaitkan kedua rukun Islam itu di dalam kitab suci-Nya, al-Qur'an dalam dua puluh delapan tempat. Sehingga Ibn Mas'ud mengatakan, "Kita diperintahkan untuk mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat. Dan barang siapa yang tidak mengeluarkan zakat, maka tidak ada gunanya shalat bagi dirinya."1
  
Abu Bakar as-Shidiq pernah berkata, "Demi Allah, aku akan memerangi orang-orang yang berusaha memisahkan antara shalat dan zakat."2
  
Para sahabat Nabi saw juga sepakat untuk memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat, sebagaimana mereka memerangi orang-orang yang mengaku dirinya sebagai nabi dan orang-orang murtad yang mengikuti mereka. Negara Islamlah yang pertama kali melakukan peperangan dalam sejarah untuk membelahak-hak orang miskin.
  
4) Mereka memperhatikan sebagian perbuatan sunnah lebih daripada perhatian mereka terhadap perbuatan yang fardhu dan wajib; sebagaimana yang bisa kita saksikan di kalangan pemeluk agama ini. Para pemeluk agama ini banyak yang memperbanyak zikir, tasbih, dan wirid, tetapi mereka melupakan fardhu yang diwajibkan atas mereka; yaitu perbuatan fardhu yang bersifat sosial; seperti: memperlakukan kedua orangtua dengan baik, silaturahim, bertetangga dengan baik, mengasihi orang-orang yang lemah, memelihara anak yatim dan orang-orang miskin, menyingkirkan kemungkaran, dan menyingkirkan kezaliman sosial dan politik.
  
5) Mereka memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk memperdulikan ibadah-ibadah individual, seperti shalat dan zikir, dibanding perhatian yang diberikankepada ibadah-ibadah sosial yang besar sekali faidahnya, seperti jihad, fiqh, memperbaiki jalinan silaturahim di antara manusia --khususnya famili-- bekerja sama dalam melakukan kebaikan dan ketaqwaan, saling menasihati dalam melakukan kesabaran dan kasih sayang, menganjurkan kepada keadilan dan musyawarah, perlindungan kepada orang-orang yang lemah.
  
6) Akhir-akhir ini kebanyakan di antara mereka memiliki kecenderungan untuk mempedulikan masalah-masalah furu'iyah dan mengabaikan masalah-masalah pokok. Padahal, para pendahulu kita telah mengatakan, "Barangsiapa mengabaikan pokok, maka dia tidak akan pernah sampai kepada tujuannya." Mereka melalaikan fondasi bangunan secara keseluruhan, yakni aqidah, iman, tauhid, dan keikhlasan dalam membela agama Allah.
  
7) Di antara kesalahan yang mereka lakukan juga ialah kesibukan kebanyakan manusia dalam memerangi hal-hal yang makruh dan syubhat lebih banyak dibandingkan dengan kesibukan mereka memerangi hal-hal yang diharamkan dan telah menyebar luas di kalangan mereka atau mengembalikan kewajiban yang telah hilang. Contohnya ialah kesibukan mereka tentang perkara yang masih diperselisihkan halal dan haramnya dan tidak memperhatikan hal-hal yang telah dipastikan haramnya. Ada orang yang senang sekali memperhatikan masalah-masalah khilafiyah ini, seperti masalah mengambil gambar, dan bernyanyi. Seakan-akan mereka tidak memiliki perhatian lain selain kepada hal-hal yang sedang berkecamuk di sekeliling mereka, serta menggiring manusia kepada pendapat mereka. Pada saat yang sama, mereka lupa terhadap problem yang lebih besar berkaitan dengan keberlangsungan umat yang pada saat ini cukup mengkhawatirkan.

Termasuk dalam kategori ini ialah perhatian mereka yang sangat besar  untuk  menyingkirkan  dosa-dosa  kecil  dan  melalaikan dosa-dosa besar yang lebih  berbahaya,  baik  dosa-dosa  besar yang  berkaitan dengan ajaran agama, seperti peramalan, sihir, perdukunan,  menjadikan   kuburan   sebagai   masjid,   nazar, menyembelih   untuk   orang   mati,   meminta   tolong  kepada orang-orang yang telah dikuburkan, meminta kepada mereka untuk memenuhi  segala  keperluan hidupnya, dan meminta mereka untuk menghindarkan diri  mereka  dari  bencana,  ataupun  dosa-dosa lainya  yang  berupa penyelewengan sosial dan politik; seperti mengabaikan  musyawarah   dan   keadilan   sosial;   hilangnya kebebasan dan hak asasi manusia, dan kehormatannya; penyerahan suatu urusan kepada orang yang  bukan  ahlinya;  penyelewengan hasil  pemungutan  suara; perampasan kekayaan umat; meneruskan kehidupan berkasta; dan tersebarnya pemborosan  dan  kemewahan yang merusak mental umat.

Kesalahan  besar  ini  telah  merambah umat kita pada saat ini dalam persoalan yang  berkaitan  dengan  parameter  prioritas, sehingga   mereka   menganggap   kecil   hal-hal  yang  besar, membesar-besarkan hal-hal  yang  kecil,  mementingkan  hal-hal yang  remeh,  dan  meremehkan  hal-hal  yang  penting, menunda perkara yang seharusnya didahulukan, dan mendahulukan  perkara yang   seharusnya  diakhirkan,  mengabaikan  yang  fardhu  dan memperhatikan yang sunnah, mempedulikan  dosa-dosa  kecil  dan mengabaikan   dosa-dosa   besar,  berjuang  mati-matian  untuk masalah-masalah  khilafiyah  dan  tidak   mengambil   tindakan terhadap  perkara-perkara  yang  telah disepakati... Semua ini membuat umat pada saat ini sangat  perlu  --dan  bahkan  sudah sampai  kepada  batas darurat-- terhadap "fiqh prioritas" yang harus segera dimunculkan, didiskusikan,  diperbincangkan,  dan dijelaskan,  sehingga  bisa  diterima  oleh pemikiran dan hati mereka, juga agar mereka memiliki  pandangan  yang  jelas  dan wawasan yang luas untuk melakukan perbuatan yang paling baik.

Catatan Kaki:


1 Diriwayatkan oleh al-Haitsami dalam al-Majma' (3:62). Dia berkata, "Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani di dalam al-Kabir dengan isnad yang shahih. ^
2 Diriwayatkan oleh Muttafaq 'Alaih dari Abu Hurairah r. a. sebagaimana yang dimuat dalam al-Lu'lu' wal-Marjan yang disepakati ke-shahihannya oleh Bukhari dan Muslim (hadits no.13). ^