SEPUTAR MASALAH PENCANGKOKAN ORGAN TUBUH

SEPUTAR MASALAH PENCANGKOKAN ORGAN TUBUH

PENGANTAR

Fatwa ini saya tulis sejak  lama  sebagai  jawaban  terhadap beberapa   pertanyaan  seputar  masalah pencangkokan  organ tubuh.

Masalah  ini  merupakan  masalah  ijtihadiyah  yang  terbuka kemungkinan  untuk  didiskusikan, seperti halnya semua hasil ijtihad  atau  pemikiran   manusia,   khususnya   menyangkut masalah-masalah  kontemporer  yang belum pernah dibahas oleh para ulama terdahulu.

Dalam kaitan ini, tidak seorang pun ahli  fiqih  yang  dapat mengklaim  bahwa  pendapatnyalah  yang benar secara mutlak. Paling-paling ia hanya  boleh  mengatakan  sebagaimana  yang dikatakan   Imam   Syafi'i,  "Pendapatku  benar  tetapi  ada kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah tetapi  ada kemungkinan benar."

Karena itu saya menganggap aneh terhadap kesalahpahaman yang muncul akhir-akhir ini yang menentang  seorang  juru  dakwah yang  agung,  Syekh  Muhammad Mutawalli asy-Sya'rawi, karena beliau memfatwakan tidak bolehnya pencangkokan  organ  tubuh dengan didasarkan atas pemikiran beliau.

Sebenarnya  Syekh  Sya'rawi --mudah-mudahan Allah melindungi beliau-- tidak  menulis  fatwa tersebut  secara  bebas  dan detail.  Beliau  hanya  mengatakannya dalam suatu mata acara televisi, ketika menjawab pertanyaan  yang  diajukan.  Dalam acara-acara  seperti  itu  sering  muncul pertanyaan secara tiba-tiba, dan jawabannya pun bersifat sepintas  lalu,  yang tidak  dapat  dijadikan acuan  pokok  sebagai  pendapat dan pandangan  ulama   dalam   persoalan-persoalan   besar   dan masalah-masalah  yang  sukar.  Yang dapat dijadikan pegangan dalam hal ini adalah pendapat  yang tertuang  dalam  bentuk tulisan,  karena  pendapat dalam bentuk tulisan mencerminkan pemikiran yang akurat  dari  orang  yang  bersangkutan,  dan tidak ada kesamaran padanya.

Namun  demikian,  setiap  orang  boleh  diterima dan ditolak perkataannya, kecuali Nabi saw. Sedangkan seorang  mujtahid, apabila  benar  pendapatnya  maka  dia  akan mendapatkan dua pahala; dan jika keliru maka diampuni  kesalahannya,  bahkan masih mendapatkan satu pahala.

Wa  billahit  taufiq,  dan  kepada-Nya-lah tujuan perjalanan hidup ini.

Pertanyaan: 

Bolehkah seorang muslim mendonorkan sebagian organ  tubuhnya sewaktu  dia hidup untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain? Kalau boleh, apakah kebolehannya itu bersifat mutlak ataukah terikat    dengan    syarat-syarat    tertentu?    Dan   apa syarat-syaratnya itu?

Jika mendonorkan organ tubuh itu diperbolehkan,  maka  untuk siapa saja donor itu? Apakah hanya untuk kerabat, atau hanya untuk orang muslim, ataukah boleh untuk sembarang orang?

Apabila  mendermakan  atau  mendonorkan  organ   tubuh   itu diperbolehkan, apakah boleh memperjualbelikannya?

Bolehkah  mendonorkan  organ  tubuh setelah meninggal dunia? Apakah hal ini tidak bertentangan dengan  keharusan  menjaga kehormatan mayit?

Apakah  mendonorkan  itu  merupakan  hak  orang bersangkutan (yang  punya   tubuh   itu)   saja?   Bolehkah   keluarganya mendonorkan organ tubuh si mati?

Bolehkah  negara  mengambil  sebagian organ tubuh orang yang kecelakaan misalnya, untuk menolong orang lain?

Bolehkah mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim ke  tubuh orang muslim?

Bolehkah   mencangkokkan  organ  tubuh  binatang  --termasuk binatang itu najis, seperti babi misalnya-- ke tubuh seorang muslim?

Itulah  sejumlah  pertanyaan  yang  dihadapkan  kepada fiqih Islam dan  tokoh-tokohnya  beserta  lembaga-lembaganya  pada masa sekarang.

Semua  itu  memerlukan  jawaban, apakah diperbolehkan secara mutlak,  apakah  dilarang  secara  mutlak,  ataukah   dengan perincian?

Baiklah  saya  akan mencoba menjawabnya, mudah-mudahan Allah memberi pertolongan dan taufiq-Nya.

Jawaban: 

BOLEHKAH ORANG MUSLIM MENDERMAKAN ORGAN TUBUHNYA KETIKA  DIA MASIH HIDUP?

Ada   yang   mengatakan   bahwa  diperbolehkannya  seseorang mendermakan  atau  mendonorkan sesuatu  ialah  apabila  itu miliknya.  Maka,  apakah  seseorang  itu  memiliki  tubuhnya sendiri sehingga  ia  dapat   mempergunakannya   sekehendak hatinya,  misalnya dengan mendonorkannya atau lainnya? Atau, apakah tubuh itu merupakan titipan  dari  Allah  yang  tidak boleh  ia  pergunakan kecuali  dengan izin-Nya? Sebagaimana seseorang tidak boleh memperlakukan  tubuhnya  dengan semau sendiri  pada  waktu  dia  hidup  dengan  melenyapkannya dan membunuhnya  (bunuh  diri), maka  dia  juga   tidak   boleh mempergunakan  sebagian  tubuhnya jika sekiranya menimbulkan mudarat buat dirinya.

Namun demikian, perlu  diperhatikan  disini  bahwa  meskipun tubuh  merupakan  titipan  dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang   untuk    memanfaatkan    dan    mempergunakannya, sebagaimana   harta.   Harta  pada  hakikatnya  milik  Allah sebagaimana  diisyaratkan  oleh  Al-Qur'an,  misalnya  dalam firman Allah:
"... dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu ..." (an-Nur: 33)
Akan tetapi, Allah memberi  wewenang  kepada  manusia  untuk memilikinya dan membelanjakan harta itu.

Sebagaimana  manusia  boleh  mendermakan  sebagian  hartanya untuk  kepentingan  orang  lain yang  membutuhkannya,  maka diperkenankan  juga  seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya.

Hanya perbedaannya adalah  bahwa  manusia  adakalanya  boleh mendermakan  atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan  ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian,  dari  penderitaan yang sangat, atau dari kehidupan yang sengsara.

Apabila  seorang  muslim  dibenarkan  menceburkan dirinya ke laut untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah  jilatan  api untuk memadamkan kebakaran, maka mengapakah tidak diperbolehkan seorang muslim mempertaruhkan sebagian    wujud   materiilnya   (organ   tubuhnya)   untuk kemaslahatan orang lain yang membutuhkannya?

Pada zaman sekarang kita melihat adanya  donor  darah,  yang merupakan   bagian  dari  tubuh manusia,  telah  merata  di negara-negara kaum muslim tanpa ada seorang ulama  pun  yang mengingkarinya,  bahkan  mereka  menganjurkannya  atau  ikut serta menjadi donor. Maka ijma' sukuti  (kesepakatan  ulama secara  diam-diam)  ini --menurut sebagian fatwa yang muncul mengenai masalah ini-- menunjukkan bahwa donor  darah  dapat diterima syara'.

Didalam  kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat itu harus dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk  menolong  orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, menolong orang  yang  terluka,  memberi  makan  orang  yang kelaparan,  melepaskan  tawanan, mengobati orang yang sakit, dan  menyelamatkan  orang  yang  menghadapi   bahaya,   baik mengenai jiwanya maupun lainnya.

Maka  tidak  diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu dharar  (bencana,  bahaya)  yang  menimpa   seseorang   atau sekelompok  orang,  tetapi  dia tidak berusaha menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu  menghilangkannya,  atau  tidak berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.

Karena   itu   saya  katakan  bahwa  berusaha  menghilangkan penderitaan  seorang  muslim  yang menderita  gagal  ginjal misalnya,  dengan  mendonorkan  salah  satu  ginjalnya  yang sehat, maka tindakan demikian diperkenankan  syara',  bahkan terpuji  dan  berpahala bagi orang yang melakukannya. Karena dengan demikian berarti dia menyayangi orang yang  di  bumi, sehingga  dia berhak  mendapatkan kasih sayang dari yang di langit.

Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan Islam menganggap semua kebaikan (al-ma'ruf) sebagai sedekah. Maka mendermakan  sebagian  organ  tubuh  termasuk  kebaikan (sedekah).  Bahkan  tidak  diragukan  lagi, hal ini termasuk jenis sedekah yang paling tinggi dan paling  utama,  karena tubuh  (anggota  tubuh)  itu  lebih  utama  daripada  harta, sedangkan seseorang mungkin saja menggunakan  seluruh  harta kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian anggota tubuhnya.  Karena  itu,  mendermakan  sebagian  organ  tubuh karena Allah Ta'ala merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling utama dan sedekah yang paling mulia.

Kalau kita katakan orang hidup  boleh  mendonorkan  sebagian organ  tubuhnya,  maka  apakah kebolehan itu bersifat mutlak atau ada persyaratan tertentu?

Jawabannya,  bahwa  kebolehannya   itu   bersifat   muqayyad (bersyarat). Maka seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ  tubuhnya  yang  justru   akan   menimbulkan   dharar, kemelaratan,   dan   kesengsaraan  bagi  dirinya  atau  bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya.

Oleh sebab itu, tidak  diperkenankan  seseorang  mendonorkan organ  tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena  dia  tidak  mungkin  dapat  hidup tanpa   adanya organ  tersebut;  dan  tidak  diperkenankan menghilangkan dharar  dari  orang  lain  dengan menimbulkan dharar  pada  dirinya.  Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi: "Dharar (bahaya, kemelaratan,  kesengsaraan,  nestapa)  itu harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi: "Dharar  itu  tidak  boleh  dihilangkan  dengan  menimbulkan dharar pula."

Para   ulama   ushul   menafsirkan  kaidah  tersebut  dengan pengertian:  tidak   boleh   menghilangkan   dharar   dengan menimbulkan   dharar   yang   sama  atau  yang  lebih  besar daripadanya.

Karena itu tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian  luar, seperti  mata,  tangan,  dan  kaki. Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang  lain  dengan  menimbulkan dharar pada  diri  sendiri  yang  lebih besar, sebab dengan begitu dia mengabaikan kegunaan organ itu bagi dirinya  dan menjadikan buruk rupanya.

Begitu pula halnya organ tubuh bagian dalam yang berpasangan tetapi salah satu dari pasangan  itu tidak  berfungsi  atau sakit, maka organ ini dianggap seperti satu organ.

Hal  itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salahseorang yang mempunyai hak tetap terhadap penderma  (donor),seperti  hak  istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang(mengutangkan sesuatu kepadanya).

Pada suatu hari pernah ada seorang  wanita  bertanya  kepada saya bahwa dia ingin mendonorkan salah satu ginjalnya kepada saudara     perempuannya,     tetapi     suaminya      tidak memperbolehkannya, apakah memang ini termasuk hak suaminya?

Saya  jawab  bahwa suami punya hak atas istrinya. Apabila ia (si istri) mendermakan salah satu ginjalnya,  sudah  barang tentu  ia  harus  dioperasi  dan  masuk  rumah  sakit, serta memerlukan perawatan khusus.  Semua  itu  dapat  menghalangi sebagian  hak  suami  terhadap  istri,  belum  lagi ditambah dengan beban-beban lainnya. Oleh karena itu, seharusnya  hal itu dilakukan dengan izin dan kerelaan suami.

Disamping itu, mendonorkan organ tubuh hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa dan berakal sehat. Dengan demikian,  tidak diperbolehkan  anak  kecil mendonorkan organ tubuhnya, sebab ia tidak tahu  persis  kepentingan  dirinya,  demikian  pula halnya orang gila.

Begitu  juga  seorang wali, ia tidak boleh mendonorkan organ tubuh anak kecil dan orang gila yang dibawah  perwaliannya, disebabkan  keduanya  tidak  mengerti. Terhadap harta mereka saja wali tidak boleh mendermakannya,  lebih-lebih  jika  ia mendermakan  sesuatu  yang  lebih  tinggi  dan lebih  mulia daripada harta, semisal organ tubuh.

MEMBERIKAN DONOR KEPADA ORANG NON-MUSLIM

Mendonorkan organ tubuh itu seperti menyedekahkan harta. Hal ini  boleh  dilakukan  terhadap orang muslim dan nonmuslim, tetapi tidak boleh diberikan kepada orang kafir  harbi  yang memerangi kaum  muslim.  Misalnya,  menurut  pendapat saya, orang kafir yang memerangi kaum muslim lewat perang  pikiran dan yang berusaha merusak Islam.

Demikian  pula  tidak  diperbolehkan mendonorkan organ tubuh kepada  orang  murtad  yang   keluar dari   Islam   secara terang-terangan.   Karena  menurut  pandangan  Islam,  orang murtad berarti telah mengkhianati agama dan umatnya sehingga ia  berhak  dihukum bunuh. Maka bagaimana kita akan menolong orang seperti ini untuk hidup?

Apabila ada dua orang yang membutuhkan bantuan  donor,  yang satu  muslim  dan  satunya  lagi nonmuslim, maka yang muslim itulah yang harus diutamakan. Allah berfirman:
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yanglain ..." (atTaubah: 71)
Bahkan seorang  muslim  yang  saleh  dan  komitmen  terhadap agamanya lebih utama untuk diberi donor daripada orang fasik yang mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Karena dengan  hidup  dan sehatnya muslim yang saleh itu berarti si pemberi donor telah membantunya melakukan  ketaatan  kepada Allah  dan memberikan manfaat kepada sesama makhluk-Nya. Hal ini berbeda  dengan   ahli   maksiat   yang   mempergunakan nikmat-nikmat  Allah  hanya  untuk bermaksiat kepada-Nya dan menimbulkan mudarat kepada orang lain.

Apabila si muslim itu kerabat atau tetangga si  donor,  maka dia  lebih  utama  daripada yang lain, karena tetangga punya hak yang kuat dan kerabat punya hak yang  lebih  kuat  lagi, sebagaimana firman Allah:
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah ..." (al-Anfal: 75)
Juga diperbolehkan seorang muslim mendonorkan organ tubuhnya kepada   orang   tertentu,   sebagaimana   ia   juga   boleh mendermakannya kepada suatu yayasan seperti bank yang khusus menangani  masalah  ini  (seperti bank mata dan sebagiannya; Penj.), yang merawat dan memelihara organ  tersebut  dengan caranya  sendiri,  sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan apabila diperlukan.

TIDAK DIPERBOLEHKAN MENJUAL ORGAN TUBUH

Perlu   saya   ingatkan   disini   bahwa    pendapat    yang memperbolehkan   donor   organ   tubuh   itu  tidak  berarti memperbolehkan memperjualbelikannya. Karena  jual  beli  itu --sebagaimana   dita'rifkan  fuqaha-- adalah  tukar-menukar harta secara suka rela, sedangkan tubuh  manusia  itu bukan harta   yang   dapat  dipertukarkan  dan  ditawar-menawarkan sehingga organ tubuh manusia menjadi objek perdagangan  dan jual beli. Suatu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi di beberapa daerah miskin, di sana terdapat  pasar  yang  mirip dengan  pasar  budak.  Di  situ diperjualbelikan organ tubuh orang-orang miskin dan orang-orang  lemah  --untuk  konsumsi orang-orang  kaya-- yang  tidak lepas  dari  campur tangan "mafia  baru"  yang  bersaing  dengan  mafia  dalam  masalah minum-minuman keras, ganja, morfin, dan sebagainya.

Tetapi,  apabila  orang  yang memanfaatkan organ itu memberi sejumlah uang kepada donor  --tanpa persyaratan  dan  tidak ditentukan   sebelumnya,   semata-mata  hibah,  hadiah,  dan pertolongan-- maka yang demikian itu hukumnya jaiz  (boleh), bahkan  terpuji dan termasuk akhlak yang mulia. Hal ini sama dengan pemberian orang yang  berutang  ketika  mengembalikan pinjaman    dengan   memberikan    tambahan    yang   tidak dipersyaratkan sebelumnya. Hal ini diperkenankan syara'  dan terpuji,  bahkan  Rasulullah saw. pernah melakukannya ketika beliau mengembalikan pinjaman (utang)  dengan  sesuatu  yang lebih baik daripada yang dipinjamnya seraya bersabda:

"Sesungguhnya sebaik-baik orang diantara kamu ialah yang lebih baik pembayaran utangnya." (HR Ahmad, Bukhari, Nasa'i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

BOLEHKAH MEWASIATKAN ORGAN TUBUH SETELAH MENINGGAL DUNIA?

Apabila seorang muslim  diperbolehkan  mendonorkan  sebagian organ  tubuhnya yang bermanfaat untuk orang lain serta tidak menimbulkan mudarat pada dirinya sendiri, maka bolehkah  dia berwasiat untuk  mendonorkan  sebagian  organ  tubuhnya itu setelah dia meninggal dunia nanti?

Menurut pandangan saya, apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan  organ tubuhnya pada waktu hidup, yang dalam hal ini mungkin saja akan  mendatangkan  kemelaratan  --meskipun kemungkinan   itu   kecil--   maka  tidaklah  terlarang  dia mewasiatkannya setelah meninggal  dunia nanti.  Sebab  yang demikian  itu akan memberikan manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa menimbulkan mudarat  (kemelaratan/  kesengsaraan) sedikit  pun  kepada dirinya, karena organ-organ tubuh orang yang meninggal  akan  lepas  berantakan  dan  dimakan  tanah beberapa  hari setelah  dikubur. Apabila ia berwasiat untuk mendermakan organ tubuhnya itu dengan niat mendekatkan  diri dan mencari keridhaan Allah, maka ia akan mendapatkan pahala sesuai dengan niat dan amalnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun  dalil syara' yang mengharamkannya, sedangkan hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali  jika  ada  dalil  yang sahih  dan  sharih (jelas) yang melarangnya. Dalam kasus ini dalil tersebut tidak dijumpai.

Umar r.a. pernah berkata kepada  sebagian  sahabat  mengenai beberapa  masalah,  "Itu adalah sesuatu yang bermanfaat bagi saudaramu  dan  tidak  memberikan  mudarat  kepada   dirimu, mengapa engkau hendak melarangnya?" Demikianlah kiranya yang dapat  dikatakan  kepada   orang   yang   melarang   masalah mewasiatkan organ tubuh ini.

Ada  yang  mengatakan bahwa hal ini menghilangkan kehormatan mayit  yang  sangat  dipelihara oleh  syariat  Islam,  yang Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda:

"Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan tulang orang yang hidup."1

Saya tekankan disini bahwa  mengambil  sebagian  organ  dari tubuh  mayit  tidaklah  bertentangan dengan ketetapan syara' yang menyuruh menghormatinya.  Sebab  yang  dimaksud  dengan menghormati tubuh itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya, sedangkan mengoperasinya (mengambil organ  yang  dibutuhkan) itu  dilakukan  seperti  mengoperasi orang yang hidup dengan penuh  perhatian  dan  penghormatan,  bukan  dengan  merusak kehormatan tubuhnya.

Sementara  itu,  hadits  tersebut hanya membicarakan masalah mematahkan tulang mayit, padahal pengambilan organ ini tidak mengenai tulang. Sesungguhnya yang dimaksud hadits itu ialah larangan memotong-motong  tubuh  mayit,   merusaknya,   dan mengabaikannya  sebagaimana  yang dilakukan  kaum  jahiliah dalam peperangan-peperangan --bahkan  sebagian  dari  mereka masih   terus  melakukannya  hingga  sekarang.  Itulah  yang diingkari dan tidak diridhai oleh Islam.

Selain itu, janganlah seseorang menolak dengan alasan  ulama salaf  tidak  pernah  melakukannya, sedangkan  kebaikan itu ialah dengan mengikuti jejak langkah mereka.  Memang  benar, andaikata mereka memerlukan hal itu dan mampu melakukannya, lantas mereka tidak mau melakukannya. Tetapi  banyak  sekali perkara  yang  kita  lakukan  sekarang ternyata belum pernah dilakukan oleh ulama salaf  karena  memang  belum  ada  pada zaman  mereka.  Sedangkan  fatwa  itu  sendiri dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, tradisi, dan kondisi, sebagaimana   ditetapkan   oleh para   muhaqqiq.  Meskipun demikian,  dalam  hal  ini  terdapat  ketentuan  yang  harus dipenuhi yaitu  tidak  boleh  mendermakan  atau mendonorkan seluruh tubuh atau sebagian banyak anggota tubuh,  sehingga meniadakan hukum-hukum mayit bagi yang bersangkutan, seperti tentang     kewajiban      memandikannya,      mengafaninya, menshalatinya,  menguburnya  di  pekuburan kaum muslim, dan sebagainya.

Mendonorkan  sebagian  organ   tubuh   sama   sekali   tidak menghilangkan semua itu secara meyakinkan.

BOLEHKAH  WALI  DAN  AHLI  WARIS  MENDONORKAN SEBAGIAN ORGAN TUBUH MAYIT?

Apabila seseorang sebelum meninggal diperkenankan  berwasiat untuk  mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka jika ia (si mayit) tidak berwasiat sebelumnya bolehkah bagi  ahli  waris dan walinya mendonorkan sebagian organ tubuhnya?

Ada  yang  mengatakan  bahwa  tubuh si mayit adalah milik si mayit itu sendiri, sehingga wali atau ahli  warisnya  tidak diperbolehkan mempergunakan atau mendonorkannya.

Namun  begitu,  sebenarnya seseorang apabila telah meninggal dunia  maka  dia  tidak  dianggap layak  memiliki  sesuatu. Sebagaimana  kepemilikan hartanya yang juga berpindah kepada ahli warisnya, maka mungkin dapat dikatakan bahwa  tubuh  si mayit  menjadi  hak  wali atau ahli warisnya. Dan boleh jadi syara'  melarang  mematahkan  tulang  mayit   atau   merusak tubuhnya  itu karena hendak memelihara hak orang yang hidup melebihi hak orang yang telah mati.

Disamping itu, Pembuat Syariat telah memberikan  hak  kepada wali untuk menuntut hukum qishash atau memaafkan si pembunuh ketika  terjadi  pembunuhan  dengan   sengaja,   sebagaimana difirmankan oleh Allah:
"... Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan." (al-Isra': 33)
Sebagaimana halnya ahli waris mempunyai hak melakukan  hukum qishash  jika  mereka menghendaki, atau melakukan perdamaian dengan menuntut pembayaran diat, sedikit atau  banyak.  Atau memaafkannya  secara  mutlak  karena  Allah,  pemaafan  yang bersifat menyeluruh atau sebagian, seperti  yang  disinyalir oleh Allah dalam firmanNya:
"... Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dlben maaf) membayar (diat) kepada yang memben maaf dengan cara yang baik (pula) ..." (al-Baqarah: 178)
Maka tidak menutup kemungkinan bahwa  mereka  mempunyai  hak mempergunakan  sebagian organ tubuhnya, yang sekiranya dapat memberi manfaat kepada orang lain dan tidak memberi mudarat kepada si mayit. Bahkan mungkin dia mendapat pahala darinya, sesuai  kadar  manfaat  yang diperoleh  orang  sakit   yang membutuhkannya  meskipun si mayit tidak berniat, sebagaimana seseorang yang hidup itu mendapat pahala  karena  tanamannya dimakan  oleh  orang  lain, burung, atau binatang lain, atau karena ditimpa musibah, kesedihan,  atau  terkena  gangguan, hingga  terkena duri  sekalipun  ... Seperti juga halnya ia memperoleh manfaat  --setelah  meninggal  dunia--  dari doa anaknya  khususnya dan doa kaum muslim umumnya, serta dengan sedekah mereka  untuknya.  Dan telah  saya  sebutkan  bahwa sedekah  dengan  sebagian  anggota  tubuh  itu  lebih  besar pahalanya daripada sedekah dengan harta.

Oleh karena itu, saya berpendapat tidak terlarang bagi  ahli waris mendonorkan sebagian organ tubuh mayit yang dibutuhkan oleh  orang-orang  sakit  untuk  mengobati  mereka,  seperti ginjal, jantung, dan sebagainya, dengan niat sebagai sedekah dari si mayit, suatu sedekah yang berkesinambungan pahalanya selama  si  sakit  masih  memanfaatkan organ yang didonorkan itu.

Sebagian saudara di Qatar  menanyakan  kepada  saya  tentang mendermakan  sebagian  organ  tubuh anak-anak  mereka  yang dilahirkan dengan menyandang suatu penyakit sehingga  mereka tidak dapat bertahan  hidup. Proses itu terjadi pada waktu mereka di rumah sakit, ketika anak-anak itu meninggal dunia. Sedangkan  beberapa  anak  lain  membutuhkan  sebagian organ tubuh  mereka   yang   sehat   --misalnya   ginjal--   untuk melanjutkan kehidupan mereka.

Saya  jawab  bahwa  yang  demikian itu diperbolehkan, bahkan mustahab, dan mereka akan mendapatkan pahala,  insya  Allah. Karena  yang  demikian  itu  menjadi  sebab terselamatkannya kehidupan beberapa orang anak dalam beberapa hari disebabkan kemauan  para  orang  tua untuk melakukan kebaikan yang akan mendapatkan pahala  dari  Allah.  Mudah-mudahan  Allah  akan mengganti  untuk mereka -- karena musibah yang menimpa itu-- melalui anak-anak mereka.

Hanya saja, para ahli waris tidak  boleh  mendonorkan  organ tubuh  si mayit jika si mayit sewaktu hidupnya berpesan agar organ tubuhnya tidak didonorkan, karena  yang  demikian  itu merupakan   haknya,  dan  wasiat  atau  pesannya  itu  wajib dilaksanakan selama bukan berisi maksiat.

BATAS HAK NEGARA MENGENAI PENGAMBILAN ORGAN TUBUH

Apabila kita memperbolehkan ahli waris dan para  wali  untuk mendonorkan  sebagian organ tubuh si mayit untuk kepentingan dan pengobatan orang yang masih hidup, maka bolehkah  negara membuat undang-undang yang memperbolehkan mengambil sebagian organ tubuh orang mati yang  tidak diketahui  identitasnya, dan   tidak   diketahui   ahli   waris  dan  walinya,  untuk dimanfaatkan guna menyelamatkan orang lain, yang  sakit  dan yang terkena musibah?

Tidak   jauh   kemungkinannya,   bahwa   yang  demikian  itu diperbolehkan dalam batas-batas darurat, atau  karena  suatu kebutuhan yang tergolong dalam kategori darurat, berdasarkan dugaan kuat bahwa si mayit tidak mempunyai wali. Apabila dia mempunyai wali, maka wajib meminta izin kepadanya. Disamping itu, juga tidak didapati  indikasi  bahwa  sewaktu  hidupnya dulu   si   mayit   berwasiat   agar  organ  tubuhnya  tidak didonorkan.

MENCANGKOKKAN ORGAN TUBUH ORANG KAFIR KEPADA ORANG MUSLIM

Adapun mencangkokkan  organ  tubuh  orang  nonmuslim  kepada orang  muslim  tidak  terlarang, karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai  Islam  atau  kafir,  ia  hanya merupakan  alat bagi  manusia  yang  dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya.  Apabila suatu organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi  alat baginya  untuk  menjalankan  misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta'ala. Hal ini sama dengan orang muslim yang  mengambil  senjata  orang  kafir dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah.

Bahkan kami katakan bahwa organ-organ di dalam  tubuh  orang kafir  itu adalah muslim (tunduk dan menyerah kepada Allah), selalu bertasbih  dan  bersujud  kepada  Allah  SWT,  sesuai dengan pemahaman yang ditangkap dari Al-Qur'an bahwa segala sesuatu  yang  ada  di  langit  dan  di  bumi itu  bersujud menyucikan Allah Ta'ala, hanya saja kita tidak mengerti cara mereka bertasbih.

Kalau begitu, maka yang benar adalah  bahwa  kekafiran  atau keislaman   seseorang   tidak   berpengaruh  terhadap  organ tubuhnya termasuk terhadap hatinya (organnya) sendiri,  yang oleh  Al-Qur'an  ada  yang diklasifikasikan sehat dan sakit, iman dan ragu, mati dan hidup. Padahal yang dimaksud  disini bukanlah  organ  yang  dapat diraba (ditangkap dengan indra) yang  termasuk bidang garap  dokter  spesialis  dan   ahli anatomi,  sebab  yang demikian itu tidak berbeda antara yang beriman dan yang kafir, serta  antara  yang  taat  dan  yang bermaksiat.  Tetapi  yang  dimaksud dengannya  adalah makna ruhiyahnya yang dengannyalah manusia merasa,  berpikir,  dan memahami sesuatu, sebagaimana firman Allah:
"... lalu mereka mempunysi hati yang dengan itu mereka dapat memahami ..." (al-Hajj: 46)
   
"... mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) ..." (al-A'raf: 179)

Dan firman Allah:
"... sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis  ..." (at-Taubah: 28)
Kata najis dalam ayat tersebut  bukanlah  dimaksudkan  untuk najis indrawi yang berhubungan dengan badan, melainkan najis maknawi yang berhubungan dengan hati dan akal (pikiran).

Karena itu tidak terdapat larangan syara' bagi orang  muslim untuk memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim.

PENCANGKOKAN ORGAN BINATANG YANG NAJIS KE TUBUH ORANG MUSLIM

Adapun  pencangkokan  organ  binatang  yang  dihukumi  najis seperti babi misalnya, ke dalam tubuh orang  muslim,  maka pada  dasarnya  hal  itu tidak perlu dilakukan kecuali dalam kondisi  darurat. Sedangkan  darurat   itu   bermacam-macam kondisi  dan  hukumnya  dengan  harus  mematuhi kaidah bahwa "segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu  harus diukur  menurut  kadar kedaruratannya,"  dan pemanfaatannya harus melalui ketetapan dokter-dokter muslim yang tepercaya.

Mungkin  juga  ada  yang  mengatakan   disini   bahwa   yang diharamkan dari babi hanyalah memakan dagingnya, sebagaimana disebutkan   Al-Qur'an   dalam   empat    ayat,    sedangkan mencangkokkan sebagian organnya ke dalam tubuh manusia bukan berarti memakannya, melainkan hanya memanfaatkannya.  Selain itu,  Nabi saw. memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai --yaitu   kulitnya--   padahal   bangkai   itu    diharamkan bersama-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-Qur'an. Maka apabila syara' memperkenankan memanfaatkan bangkai asal tidak   dimakan,    maka   arah   pembicaraan   ini   ialah diperbolehkannya memanfaatkan babi asalkan tidak dimakan.

Diriwayatkan dalam kitab sahih bahwa Rasulullah saw.  pernah melewati  bangkai seekor kambing, lalu para sahabat berkata, "Sesungguhnya  itu  bangkai  kambing   milik   bekas   budak Maimunah." Lalu beliau bersabda:

"Mengapa tidak kamu ambil kulitnya lalu kamu samak, lantas kamu manfaatkan?" Mereka menjawab,  "Sesungguhnya itu adalah bangkai." Beliau bersabda, "Sesungguhnya yang diharamkan itu hanyalah memakannya."2

Permasalahannya sekarang, sesungguhnya babi itu najis,  maka bagaimana akan diperbolehkan memasukkan benda najis ke dalam tubuh orang muslim?

Dalam hal ini saya akan menjawab: bahwa yang dilarang syara' ialah  mengenakan benda najis dari tubuh bagian luar, adapun yang  didalam  tubuh  maka   tidak   terdapat   dalil   yang melarangnya. Sebab  bagian  dalam  tubuh manusia itu justru merupakan tempat benda-benda najis, seperti darah, kencing, tinja,  dan  semua  kotoran;  dan  manusia  tetap  melakukan shalat, membaca Al-Qur'an, thawaf di Baitul Haram,  meskipun benda-benda  najis  itu  ada  di  dalam  perutnya  dan tidak membatalkannya sedikit pun, sebab tidak ada hubungan  antara hukum najis dengan apa yang ada didalam tubuh.

TIDAK BOLEH MENDONORKAN BUAH PELIR

Akhirnya  pembahasan ini merembet kepada pembicaraan seputar masalah pencangkokan buah pelir seseorang kepada orang lain. Apakah  hal itu diperbolehkan, dengan mengqiyaskannya kepada organ tubuh yang lain? Ataukah khusus untuk buah  pelir  ini tidak  diperkenankan  memindahkannya  dari seseorang kepada orang lain?

Menurut  pendapat  saya,  memindahkan   buah   pelir   tidak diperbolehkan.  Para  ahli telah menetapkan bahwa buah pelir merupakan perbendaharaan yang  memindahkan  karakter  khusus seseorang  kepada  keturunannya,  dan  pencangkokan pelir ke dalam  tubuh  seseorang,  yakni   anak keturunan   --lewat reproduksi--   akan   mewariskan   sifat-sifat   orang  yang mempunyai  buah  pelir itu,  baik  warna  kulitnya,  postur tubuhnya,  tingkat  inteligensinya,  atau  sifat  jasmaniah, pemikiran, dan mental yang lain.

Hal ini dianggap semacam  percampuran  nasab  yang  dilarang oleh  syara'  dengan jalan apa pun. Karena itu diharamkannya perzinaan, adopsi dan pengakuan kepada  orang  lain  sebagai bapaknya,   dan   lainnya,   yang   menyebabkan   terjadinya percampuran keluarga atau kaum yang  tidak termasuk  bagian dari  mereka.  Maka  tidaklah  dapat  diterima pendapat yang mengatakan bahwa buah pelir bila  dipindahkan  kepada  orang lain  berarti telah menjadi bagian dari badan orang tersebut dan mempunyai hukum seperti hukumnya dalam segala hal.

Demikian pula jika otak seseorang dapat  dipindahkan  kepada orang  lain,  maka  hal itu tidak diperbolehkan, karena akan menimbulkan percampuran dan kerusakan yang besar.

Wa billahit taufiq.

Catatan kaki:
1 HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Aisyah sebagaimana disebutkan dalam al-Jami' ash-Shaghir. Dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummu Salamah dengan lafal: "Seperti memecahkan tulang orang yang hidup tentang dosanya." ^
2 Muttafaq 'alaih, sebagaimana disebutkan dalam al-Lu'lu' wal-Marjan, nomor 205. ^

SI SAKIT MENGHARAPKAN KEMATIAN

SI SAKIT MENGHARAPKAN KEMATIAN

Apabila  si  sakit  diperbolehkan  mengeluhkan  penderitaannya sebagaimana   saya   sebutkan,   maka  tidaklah  baik  baginya mengharapkan kematian atau meminta kematian karena penderitaan yang  dialaminya, mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa Nabi saw. bersabda:

"Jangan sekali-kali seseorang diantara kamu mengharapkan kematian karena penderitaan yang dialaminya. Jika ia harus berbuat begitu, maka hendaklah ia mengucapkan, 'Ya Allah, hidupkanlah aku jika hidup itu lebih baik bagiku; dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku."83

Hadits Abu Hurairah r.a. yang diriwayatkan  oleh  Bukhari  dan lainnya  menjelaskan  hikmah  larangan  ini,  maka  Nabi  saw. bersabda:

"Dan jangan sekali-kali salah seorang diantara kamu mengharapkan kematian, karena kalau ia orang baik maka boleh jadi akan menambah kebaikannya; dan jika ia orang yang jelek maka boleh jadi ia akan bertobat dengan tulus."84

Makna kata yasta'tibu ialah kembali dari segala  sesuatu  yang menjadikannya  tercela,  caranya  ialah dengan melakukan tobat nashuha (tobat yang tulus).

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya  dari  Abu  Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda:

"Jangan sekali-kali salah seorang diantara kamu mengharapkan kematian dan jangan pula berdoa memohon kematian sebelum datang waktunya. Sesungguhnya kematian itu apabila datang kepada salah seorang diantara kamu maka putuslah amalnya, dan sesungguhnya tidak bertambah umur orang mukmin itu melainkan hanya menambah kebaikan baginya."85

Para ulama mengatakan, "Sebenarnya dimakruhkannya mengharapkan kematian  itu  hanyalah apabila  berkenaan dengan kemudaratan atau  kesempitan  hidup  duniawi,  tetapi  tidak   dimakruhkan apabila  motivasinya  karena  takut  fitnah terhadap agamanya, karena kerusakan zaman, sebagaimana dipahami dari hadits  Anas di   atas.   Banyak  diriwayatkan  dari  kalangan salaf yang mengharapkan kematian  ketika  mereka  takut  fitnah  terhadap agamanya."86

Hal  ini  diperkuat  oleh hadits Mu'adz bin Jabal mengenai doa Nabi saw.:

"Ya Allah, aku mohon kepada-Mu (agar Engkau menolongku untuk) melakukan kebaikan, meninggalkan kemunkaran, dan mencintai orang-orang miskin. Dan apabila Engkau menghendaki suatu fitnah kepada suatu kaum, maka wafatkanlah aku untuk menghadapMu tanpa terkena fitnah."87

Selain  itu,  juga  disebutkan  dalam  beberapa  hadits   yang membicarakan  tanda-tanda  hari  kiamat bahwa  kelak akan ada seseorang yang melewati kubur saudaranya, lalu ia  mengatakan, "Alangkah   baiknya   kalau   aku   yang  menempati  tempatnya (kuburnya)."

Tidak disukainya (dimakruhkannya)  mengharapkan  kematian  ini dengan  ketentuan  apabila hal itu dilakukan sebelum datangnya pendahuluan kematian; namun jika setelah pendahuluan  kematian itu datang,  maka  tidak terlarang dia mengharapkannya karena merasa rela bertemu Allah, dan tidak terlarang pula bagi orang yang meminta kematian karena kerinduannya untuk bertemu dengan Allah Azza wa Jalla.

Karena itu, dalam bab ini pula Imam  Bukhari  mencatat  hadits Aisyah  yang  mengatakan,  "Saya mendengar  Nabi saw., sambil bersandar pada saya, berdoa:

"Ya Allah, ampunilah aku dan kasih sayangilah aku, dan pertemukanlah aku dengan teman yang luhur."88

Hal ini sebagai isyarat bahwa larangan tersebut  khusus  untuk keadaan sebelum datangnya pendahuluan kematian.89

Catatan kaki :
66 Muttafaq 'alaih dari hadits Ibnu Umar. Al-Lu'lu' wal-Marjan fii Maa ittafaqa 'alaihi asy-Syaikhaani, hadits nomor 1052.^
67 Al-Majmu karya Imam Nawawi, juz 5, hlm. 118-119.^
68 HR Thabrani dalam al-Ausath. Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abu Malik an-Nakha'i, sedangkan dia itu lemah. (Majma'uz-Zawaid, karya al-Haitsami, juz 10, hlm. 113).^
69 HR Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Hakim. Shahih al-Jami'ush-Shaghir, hadits nomor 305.^
70 Shahih al-Jami'ush-Shaghir, hadits nomor 306.^
71 Periksa hadits ini dan dua hadits sebelumnya dalam Shahih al-Bukhari dan Fathul-Bari: "Kitab al-Mardha." "Bab Maa Rakhkhisha lil Maridh an Yaquula: 'Inni waja'un, au waara'saahu, au isytadda bii al-waja'u'." Hadits nomor 5666, 5667, 5668.^
72 Al-Adabul-Mufrad, karya Imam Bukhari, hadits no. 509.^
73 Fathul-Bari, juz 10., hlm. 124.^
74 Ibid.^
75 Muslim dalam "as-Salam," hadits no. 2202; Abu Daud no. 3891, dan Tirmidzi no 2081.^
76 Al-Allamah al-Qari dalam Mirqatul-Mafatih Syarah Misykatil-Mashabih, juz 2, hlm. 298.^
77 Al-Mubdi' fi Syarh al-Muqni, juz 2, hlm. 215.^
78 Fathul-Bari, juz 10, hlm 125 dan 126.^
79 Al-Adabul-Mufrad, karya al-Bukhari, hadits nomor 509.^
80 Al-Bukhari, hadits nomor 5660.^
81 Lihat, Fathul-Bari, juz 10, hlm. 124.^
82 Ibid.^
83 Al-Bukhari dalam Fathul-Bari, hadits nomor 5671, "Bab Tamanni al-Maridh al-Mauta;" dan Muslim dalam "adz-Dzikir wad-Du'a," hadits nomor 2680.^
84 Al-Bukhari dalam Fathul-Bari, nomor 5673.^
85 HR Muslim dalam "adz-Dzikr wad-Du'a wat-Taubah," hadits nomor 2662.^
86 Lihat, Syarh as-Sunnah, karya al-Baghawi, juz 5, hlm. 259. dan al-Majmu', karya an-Nawawi, juz 5, hlm. 106-107.^
87 HR Tirmidzi dan beliau berkata, "Hasan sahih." Hadits nomor 3235. Diriwayatkan juga dalam Musnad Ahmad dan disahkan oleh Hakim, sebagaimana juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dari hadits Ibnu Abbas, nomor 3233, dan Imam Ahmad yang disahkan oleh Syakir, hadits nomor 3484. ^
88 Al-Bukhari, hadits nomor 5674.^
89 Fathul-Bari, juz 10, hlm. 130. ^

WANITA MENJENGUK LAKI-LAKI YANG SAKIT

WANITA MENJENGUK LAKI-LAKI YANG SAKIT

Disyariatkannya menjenguk  orang  sakit  meliputi  penjengukan wanita   kepada   laki-laki, meskipun  bukan  muhrimnya,  dan laki-laki kepada wanita.

Diantara  bab-bab  dalam   Shahih   al-Bukhari   pada   "Kitab al-Mardha"  terdapat judul "Bab 'Iyadatin-Nisa' ar-Rijal" (Bab Wanita Menjenguk      Laki-laki).   Dalam   hal   ini   beliau meriwayatkan  suatu  hadits secara mu'allaq (tanpa menyebutkan rentetan  perawinya):  Bahwa Ummu  Darda'  pernah   menjenguk seorang laki-laki Anshar dari ahli masjid. Tetapi Imam Bukhari memaushulkan (meriwayatkan secara bersambung sanadnya) didalam al-Adabul-Mufrad dari jalan al-Harits bin Ubaid, ia berkata:

"Saya melihat Ummu Darda' di atas kendaraannya yang ada tiangnya tetapi tidak bertutup, mengunjungi seoranglaki-laki Anshar di masjid."18

Bukhari juga meriwayatkan hadits Aisyah r.a., ia berkata:

"Ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, Abu Bakar dan Bilal r.a. jatuh sakit, lalu aku datang menjenguk mereka, seraya berkata, Wahai Ayahanda, bagaimana keadaanmu? Wahai Bilal, bagaimana keadaanmu?" Aisyah berkata, "Abu Bakar apabila terserang penyakit panas, beliau berkata: 'Semua orang berada di tengah keluarganya, sedang kematian itu lebih dekat daripada tali sandalnya.' Dan Bilal apabila telah hilang demamnya, ia berkata:

'Wahai, merinding bulu romaku Apakah aku akan bermalam di suatu lembah Yang dikelilingi rumput-rumput idzkhirdan jalil Apakah pada suatu hari aku menginginkan air Majnah Apakah mereka akan menampakkan kebagusandan kekeruhanku?"

Aisyah  berkata,  "Lalu  aku  datang  kepada  Rasulullah  saw. memberitahukan  hal  itu,  lantas  beliau  berdoa,  Ya  Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah seperti kami mencintai Mekah atau melebihinya."19

Yang  menjadi dalil kebolehan wanita menjenguk laki-laki dalam hadits tersebut ialah masuknya Aisyah  menjenguk  ayahnya  dan menjenguk   Bilal,  serta  perkataannya  kepada  masing-masing mereka, "Bagaimana engkau dapati dirimu?"  Yang  dalam  bahasa kita  sekarang  sering  kita ucapkan: "Bagaimana kesehatanmu? Bagaimana keadaanmu?" Padahal  Bilal  ini  bukan  mahram bagi Aisyah Ummul Mukminin.

Tetapi suatu hal yang tidak diragukan ialah bahwa menjenguknya itu  terikat  dengan   syarat-syarat   tertentu   yang   telah ditetapkan  syara',  bersopan  santun  sebagai  muslimah dalam berjalan, gerak-gerik, memandang,  berbicara,  tidak  berduaan antara  seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa ada yang lain,  aman  dari  fitnah,  diizinkan  oleh  suami  bagi  yang bersuami, dan diizinkan oleh wali bagi yang tidak bersuami.

Dalam  hal  ini, janganlah suami atau wali melarang istri atau putrinya  menjenguk  orang  yang punya  hak  untuk   dijenguk olehnya,  seperti  kerabatnya  yang  bukan  muhrim, atau besan (semenda), atau gurunya,  atau  suami  kerabatnya,  atau  ayah kerabatnya,  dan  sebagainya dengan syarat-syarat seperti yang telah disebutkan di atas.

MENGGUNAKAN UANG SUMBANGAN (ZAKAT) UNTUK KEPERLUAN ADMINISTRASI DAN PERKANTORAN

MENGGUNAKAN UANG SUMBANGAN (ZAKAT) UNTUK KEPERLUAN ADMINISTRASI DAN PERKANTORAN

Pertanyaan:

Kami kirimkan surat ini kepada Anda  dengan  memohon  kepada Allah  Azza  wa  Jalla  semoga Dia memberikan manfaat kepada kami melalui Anda dan memberikan kebenaran kepada  Anda.  Wa ba'du.

Lembaga Bantuan Islam di Inggris merupakan lembaga kebajikan yang didirikan  untuk menghimpun sumbangan-sumbangan  dari Inggris  dan  dari  luar  Inggris,  kemudian menyalurkannya kepada kaum  muslim  di  pelbagai  wilayah  Islam  khususnya Afghanistan, Lebanon, Palestina, Afrika, dan Bangladesh.

Lembaga  ini  memerlukan  bangunan  (kantor)  untuk mengatur segala  kegiatannya.  Tetapi, terlebih dahulu  kami  ingin mengetahui  pandangan  syara'  tentang masalah ini. Bolehkah kami  membeli gedung  dengan  menggunakan  uang   sumbangan tersebut   tanpa   konsultasi   lebih   dahulu dengan para penyumbangnya? Lebih-lebih diantara penyumbang itu ada  yang telah   menentukan  kegunaan sumbangan  yang  diberikannya, disamping  ada  yang  sepenuhnya  menyerahkan  penyalurannya kepada kami (lembaga).

Selain  itu,  kami  juga  ingin  tahu  sampai  dimana  batas kebolehan kami membeli bangunan (gedung) itu jika tidak  ada larangan syara'.

Mohon jawaban, dan semoga Allah membalas Anda dengan balasan yang sebaik-baiknya.

Jawaban:

Segala puji  kepunyaan  Allah,  shalawat  dan  salam  semoga tercurahkan  kepada Rasulullah, keluarganya, dan orang-orang yang setia kepadanya. Amma ba'du.

Tidak diperbolehkan  mendirikan  bangunan  (gedung,  kantor) untuk  lembaga tersebut dengan menggunakan uang bantuan yang oleh  para  penyumbangnya  telah  ditentukan  penggunaannya, seperti  untuk  menolong  orang-orang  yang  perlu ditolong, orang-orang yang sengsara, orang-orang yang dilanda  bencana alam,  peperangan,  dan sebagainya. Dalam hal ini, niat para penyumbang wajib  dipelihara,  lebih-lebih  kebanyakan  dana yang  masuk  adalah  dari  zakat,  sedangkan zakat itu telah mempunyai  sasaran  sendiri  sebagaimana   yang   ditetapkan syara', yang tidak boleh dipergunakan untuk selain itu. 

Kalaupun sebagian penyumbang ada yang sepenuhnya menyerahkan kepada lembaga bagaimana mempergunakan dana bantuan tersebut -sebagaimana   dikatakan   dalam   pertanyaan   itu  -  maka sebenarnya ia telah menentukan penggunaannya, meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit. Karena penyerahan mereka kepada lembaga  (pengelola)  itu  disebabkan  mereka  percaya  akan amanah, keikhlasan, dan pengelolaan para pengurusnya.

Hal  ini  mengandung  pengertian  bahwa mereka percaya kalau lembaga yang Anda kelola dapat menyalurkan bantuan  tersebut ke  Palestina,  Afghanistan,  Bangladesh,  Afrika,  atau  ke negara   lainnya    dengan    syarat    disalurkan    untuk orang-orangyang membutuhkannya.

Sedangkan  urusan  administrasi - yang tak dapat dihindari - untuk  memperlancar  penyampaian   sumbangan-sumbangan   itu kepada  yang  berhak  menerimanya,  maka  tidak mengapa jika diambilkan dari sumbangan secara umum. Hal ini mengacu  pada ketetapan   Al-Qur'an   mengenai   penyaluran   zakat   yang diantaranya "memberikan bagian  kepada  amil/pengurus"  yang diambilkan dari hasil zakat itu sendiri, dan didasarkan pada kaidah bahwa:

"Suatu  kewajiban  tidak  dapat  terlaksana  dengan  sempuma melainkan dengan sesuatu (sarana), maka sesuatu itu hukumnya adalah wajib."

Hanya  saja  penggunaannya  hendaklah  dipersempit   sedapat mungkin,  demi  menjaga  uang  para penyumbang supaya tidak digunakan untuk perlengkapan kantor, peralatan administrasi, dan sebagainya  yang  merupakan suatu cacad yang dikeluhkan oleh orang-orang bijak (hukama) dan orang-orang yang jujur.

Adapun untuk mendirikan  bangunan  tersendiri  yang  menjadi milik   lembaga   -  apabila  sangat dibutuhkan  dan  telah disepakati oleh para ahli pikir dan orang-orang yang jujur - hendaklah menghimpun  dana  tersendiri  dengan maksud untuk tujuan tersebut. Sehingga orang  yang  hendak menyumbangnya mengetahui  dengan  jelas  kegunaan  dan  tujuannya.  Dengan demikian, para donatur  tersebut  akan  mendapatkan  pahala karenanya,   sebab   amal  itu  tergantung  pada  niat, dan seseorang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya. 

Mudah-mudahan Allah memberikan kepada kita keselamatan dalam menentukan  tujuan,  manhaj yang tepat, sasaran yang mulia, dan jalan yang lurus.

MENDONORKAN DARAH UNTUK SI SAKIT

MENDONORKAN DARAH UNTUK SI SAKIT

Diantara  hal  paling  utama yang diberikan oleh keluarga atau sahabat kepada si sakit ialah mendonorkan darah untuknya  bila diperlukan  ketika  ia  menjalani operasi, atau untuk membantu dan  mengganti  darah  yang  dikeluarkannya.   Ini   merupakan pengorbanan  yang  paling besar dan sedekah yang paling utama, sebab memberikan darah pada saat seperti itu kedudukannya sama dengan  menyelamatkan hidupnya, dan Al-Qur'an telah menetapkan dalam menjelaskan nilai jiwa manusia:
"... bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya ..." (al-Ma'idah: 32)
Apabila  bersedekah  dengan  harta  memiliki  kedudukan   yang demikian  tinggi  dalam  agama  dan mendapatkan  pahala  yang demikian  besar  di  sisi  Allah   --sehingga   Allah   Ta'ala menerimanya dengan  tangan  kanan-Nya  dan melipatgandakannya hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan entah sampai berapa kali lipat  menurut yang dikehendaki Allah-- maka mendermakan darah lebih tinggi kedudukannya  dan  lebih  besar  lagi  pahalanya. Karena  orang  yang mendermakan darah menjadi sebab kehidupan, dan  darah  juga  merupakan  bagian  dari  manusia,  sedangkan manusia  jauh lebih mahal  daripada harta. Selain itu, orang yang mendonorkan darahnya seakan-akan  menyumbangkan sebagian wujud  materiil  dirinya  kepada  saudaranya  karena cinta dan karena mengalah.

Disisi lain, bentuk  amal  saleh  yang  memiliki  nilai  lebih tinggi  lagi  dari  nilai  tersebut  ialah memberi pertolongan kepada orang yang membutuhkan  pertolongan  dan  menghilangkan kesusahan orang   yang   dilanda  kesusahan.  Ini  merupakan kelebihan lain yang menambah  pahala  di  sisi Allah  Ta'ala. Dalam suatu hadits Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya Allah mencintai perbuatan memberi pertolongan kepada orang yang membutuhkan pertolongan." (HR Abu Ya la, ad-Dailami, dan Ibnu Asakir dari Anas)52

Di dalam kitab sahih juga diriwayatkan hadits Rasulullah  saw. yang berbunyi:

"Barangsiapa yang menghilangkan dari seorang muslim suatu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah akan menghilangkan dari orang itu suatu kesusahan dari kesusahan-kesusahan pada hari kiamat." (HR Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Umar)53

Bahkan  terdapat  hadits  sahih  dari  Rasulullah  saw.  bahwa menolong  binatang  yang membutuhkan makanan atau minuman itu juga mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah, sebagaimana disebutkan  dalam  hadits  yang menceritakan tentang seseorang yang memberi minum anjing yang tengah kehausan. Anjing itu  ia dapatkan  menjulur-julurkan  lidahnya  menjilati  tanah karena sangat kehausan, maka orang itu mengambil air ke sumur  dengan sepatunya  dan  digigitnya sepatu itu dengan giginya kemudian diminumkannya kepada anjing tersebut hingga  puas.  Nabi  saw. bersabda, "Maka Allah berterima kasih kepadanya dan mengampuni dosanya."  Lalu  para  sahabat bertanya   keheranan,   "Wahai Rasulullah,  apakah  kami  mendapatkan  pahala  dalam menolong binatang?" Beliau menjawab:

"Benar, (berbuat baik) kepada tiap-tiap (sesuatu yang memiliki) jantung yang basah (makhluk hidup) itu berpahala." (HR Muttafaq 'alaih dari Abu Hurairah)54

Tampaknya para sahabat beranggapan bahwa berbuat  baik  kepada makhluk  (binatang) ini tidak mendapatkan pahala di sisi Allah dan bahwa ad-Din tidak memperhatikannya. Maka Rasulullah  saw. menjelaskan  kepada  mereka  bahwa berbuat baik kepada makhluk hidup yang mana pun akan mendapatkan pahala,  meskipun  berupa binatang  semisal  anjing.  Maka  bagaimana  lagi berbuat baik kepada manusia? Betapa lagi terhadap manusia yang beriman?

Mendermakan darah itu mendapatkan  pahala  yang  besar  secara umum,  dan  bersedekah  kepada kerabat  akan  dilipatgandakan pahalanya  secara  khusus,  karena  yang  demikian  itu   akan memperkuat   hubungan   kekerabatan  dan  memperkokoh  jalinan kekeluargaan. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:

"Bersedekah kepada orang miskin itu mendapatkan pahala satu sedekah; sedang kepada keluarga itu mendapatkan dua pahala, yaitu pahala sedekah dan pahala menyambung kekeluargaan." (HR Ahmad, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, dan Hakim dari Salman bin Amir)55

Pahala menyumbangkan darah ini lebih  berlipat  ganda  apabila pada  asalnya  hubungan  antara penyumbang dan si sakit tidak harmonis,  mengikuti  bujukan  setan   yang   menyalakan   api permusuhan  dan  pertentangan  di antara mereka. Apabila salah seorang  dari  mereka  berhasil   mengalahkan   nafsunya   dan setannya,  lalu  menyingkirkan dan membuang sikap yang tercela menurut pandangan Allah dan pandangan manusia ini,  lantas  ia menyumbangkan   harta   atau   darahnya  kepada  kerabat  yang membutuhkannya (yang sebelumnya  bermusuhan  dengannya), maka tindakan demikian oleh Rasulullah saw. dinilai sebagai sedekahyang paling utama bila dinisbatkan kepada  siapa  yang  diberi  sedekah. Beliau bersabda:

"Sedekah yang paling utama ialah kepada keluarga yang memusuhi (al-kaasyih)." (HR Ahmad dan Thabrani dari Abi Ayyub dan Hakim bin Hizam)56

Yang dimaksud  dengan  dzir-rahmi  al-kaasyih  (keluarga  yang memusuhi)  ialah  yang menyembunyikan  rasa  permusuhan dalam hati,  tidak   terang-terangan,   dan   tidak   cinta   kepada kerabatnya.

MENDOAKAN SI SAKIT

MENDOAKAN SI SAKIT

Cara  seorang  muslim  menjenguk saudaranya yang sakit berbeda dengan cara yang dilakukan orang lain (selain  Islam),  karena disertai  dengan  jampi dan doa. Maka diantara sunnahnya ialah si penjenguk mendoakan si sakit  dan  menjampinya  (membacakan bacaan-bacaan  tertentu)  yang  ada riwayatnya dari Rasulullah saw..

Imam Bukhari menulis "Bab Du'a al-'Aa'id lil-Maridh" (Bab  Doa Pengunjung  untuk  Orang Sakit), dan menyebutkan hadits Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. apabila menjenguk orang sakit  atau si sakit yang dibawa kepada beliau, beliau mengucapkan:

"Hilangkanlah penyakit ini, wahai Tuhan bagi manusia, sembuhkanlah, Engkau adalah Maha Penyembuh. Tidak ada kesembuhan selain kesembuhan-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit."27

Dan Nabi saw. pernah menjenguk Sa'ad bin Abi  Waqash  kemudian mendoakannya:

"Ya Allah sembuhkanlah Sa'ad, dan sempurnakanlah hijrahnya."28

Ada  suatu  keanehan  sebagaimana  dikemukakan  dalam  al-Fath (Fathul-Bari),  yaitu  adanya sebagian  orang yang menganggap musykil mendoakan kesembuhan si sakit. Mereka beralasan bahwa sakit   dapat   menghapuskan  dosa  dan  mendatangkan  pahala, sebagaimana disebutkan dalam beberapa  hadits.  Maka  terhadap kemusykilan   ini  al-Hafizh  Ibnu  Hajar  memberikan jawaban demikian, "Sesungguhnya doa itu adalah  ibadah,  dan  tidaklah saling  meniadakan  antara pahala dan kafarat, sebab keduanya diperoleh  pada  permulaan  sakit  dan  dengan   sikap   sabar terhadapnya.  Adapun  orangyang  mendoakan  akan  mendapat dua macam kebaikan,  yaitu mungkin berhasil  apa  yang  dimaksud --atau  diganti  dengan  mendapatkan  kemanfaatan  lain-- atau ditolaknya suatu bahaya, dan semua itu merupakan karunia Allah Ta'ala."29

Memang,  seorang  muslim harus bersabar ketika menderita sakit atau ditimpa musibah, tetapi hendaklah ia meminta  keselamatan kepada Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

"Janganlah kamu mengharapkan bertemu musuh, dan mintalah keselamatan kepada Allah. Tetapi apabila kamu bertemu musuh, maka bersabarlah, dan ketahuilah bahwasanya surga itu di bawah bayang-bayang pedang."30

Di dalam hadits lain beliau bersabda:

"Mintalah ampunan dan keselamatan kepada Allah, sebab tidaklah seseorang diberi sesuatu setelah keyakinan, yang lebih baik daripada keselamatan."31

Juga dalam hadits Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw. bersabda

 "Perbanyaklah berdoa memohon keselamatan."32

Salah satu doa beliau saw. adalah:

"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu penjagaan dari yang terlarang dan keselamatan dalam urusan dunia dan agamaku, keluarga dan hartaku."33

Di antara doa yang ma'tsur  lainnya  ialah  yang  diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:

"Apabila seseorang menjenguk orang sakit, maka hendaklah ia mendoakannya dengan mengucapkan, "Ya Allah, sembuhkanlah hamba-Mu, agar dia dapat membunuh musuh-Mu, atau berjalan kepada-Mu untuk melakukan shalat."34

Artinya, dalam kesembuhan orang mukmin itu  terdapat  kebaikan untuk  dirinya  dengan  dapatnya  ia melaksanakan shalat, atau kebaikan untuk umatnya karena mampu menunaikan jihad.

Sedangkan  yang  dimaksud  dengan  "musuh"  di  sini   mungkin orang-orang  kafir  yang memerangi umat Islam, atau iblis dan tentaranya. Maka  dengan  kesehatannya  seorang  muslim dapat menumpas   mereka   dengan   serangan-serangannya,  dan  dapat mematahkan  argumentasi mereka  dengan  hujjah   yang   dapat dipercaya.35

Selain  itu, ada lagi hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda:

"Barangsiapa yang menjenguk orang sakit yang belum tiba ajalnya, lalu ia mengucapkan doa ini disampingnya sebanyak tujuh kali: (Aku mohon kepada Allah Yang Maha Agung Tuhan bagõ 'arsy yang agung, semoga la berkenan menyembuhkanmu), niscaya Allah akan menyembuhkannya dari penyakit tersebut."36

MELEPAS PERALATAN DARI PENDERITA YANG TIDAK ADA HARAPAN SEMBUH

MELEPAS PERALATAN DARI PENDERITA YANG TIDAK ADA HARAPAN SEMBUH

Lebih  dari itu, bahwa orang sakit yang telah lama menggunakan peralatan untuk membantu kehidupannya (seperti infus, oksigen, dan  sebagainya)  namun  tidak  membawa  kemajuan sama sekali, bahkan  para   dokter   yang   merawatnya   menetapkan   bahwa kesembuhannya   --menurut   sunnatullah--   tidak  lagi  dapat diharapkan, sehingga meneruskan penggunaan peralatan  tersebut sudah  tidak  ada  manfaatnya,  dan  bahwa  yang menjadikannya tampak hidup adalah ketergantungannya pada peralatan tersebut, yang  jika dilepas tentu tidak lama lagi meninggal dunia, maka saya katakan bahwa menurut syara' tidak terlarang  keluarganya melepas  peralatan  tersebut dari  si sakit dan membiarkannya menurut kadar kemampuannya sendiri tanpa campur  tangan  orang lain.

Tindakan ini tidak termasuk kategori qatlur-rahmah (eutanasia) sebab kita  tidak  membunuhnya. Yang  kita  lakukan  hanyalah menghentikan pengobatannya melalui peralatan buatan.

Tidak  seorang  pun  ahli  fiqih  yang  dapat mengatakan bahwa pengobatan dengan  menggunakan peralatan  tersebut  merupakan kewajiban  syara'  yang  tidak  boleh diabaikan, sehingga jika dihentikan bertentangan dengan hukum syara'. Bahkan  ketetapan yang  sudah  dimaklumi  di kalangan ulama-ulama syariat adalah bahwa  berobat  --menurut  mazhab  empat  dan  jumhur ulama-hukumnya  mubah,  bukan  kewajiban  yang pasti. Sedikit sekali fuqaha yang berpendapat mustahab, dan lebih sedikit lagi  yang mewajibkannya.65  Dalam  kaitan  ini  Imam Ghazali menulis bab tersendiri dalam al-Ihya' untuk menyangkal pendapat orang yang mengatakan  bahwa  "meninggalkan berobat  lebih  utama  dalam segala kondisi."

Tetapi, yang saya pandang kuat ialah pendapat yang  mewajibkan berobat  bila penyakitnya parah dan obatnya manjur (berfaedah) menurut kebiasaannya. Adapun jika  harapan  untuk  sembuh  itu tipis  --bahkan  kadang-kadang  sudah tidak ada harapan sembuh menurut para ahlinya-- maka tidak ada alasan untuk  mengatakan wajib atau sunnah dalam hal berobat. 

Karena  itu,  menghentikan  penggunaan peralatan dari si sakit yang keadaannya seperti  itu  tidak lebih  dari  meninggalkan perkara  mubah,  kalau  tidak lebih utama sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan  lainnya.  Bahkan,  saya  lihat  pendapat  yang terkuat ialah yang mewajibkan penghentian penggunaan peralatan tersebut.

Catatan kaki :
61 HR Muslim dalam "Kitab al-Birr wash-Shilah" dari hadits Jabir. Shahih Muslim, hadits nomor 2578. ^
62 HR Abu Syaikh dalam ats-Tsawab dari Abu Umamah. Dihasankan (oleh al-Albani) dalam Shahih Jami'ush-Shaghir.^
63 HR Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas, dan Ibnu Majah meriwayatkannya pula dari Ubadah. Sahih dengan semua jalannya. Lihat, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, karya al-Albani, nomor 250. Dan lihat pula al-Asybah wan-Nazhair karya Ibnu Najim, Kaidah Kelima "adh-Dhararu Yuzalu" dan cabang-cabangnya, hlm. 8542, terbitan al-Halabi.^
64 Muttafaq 'alaih dari hadits Anas. Al-Lu'lu' wal-Marjan. nomor 1001.^
65 Lihat, al-Hidayah ma'a Takmilati Fat-hil Qadir, 8: 164; al-Majmu', 5: 106; al-Mabdi', 2: 213-214; dan al-Inshaf, 2: 463.^

LAKI-LAKI MENJENGUK PEREMPUAN YANG SAKIT

LAKI-LAKI MENJENGUK PEREMPUAN YANG SAKIT

Sebagaimana  terdapat  beberapa  hadits  yang   memperbolehkan perempuan  menjenguk  laki-laki dengan syarat-syaratnya, jika diantara mereka terjalin hubungan, dan laki-laki itu punya hak terhadap wanita  tersebut,  maka  laki-laki juga disyariatkan untuk menjenguk wanita dengan syarat-syarat yang sama. Hal ini jika  diantara  mereka  terjalin  hubungan yang kokoh, seperti hubungan kekerabatan  atau   persemendaan,   tetangga,   atau hubungan-hubungan  lain  yang  menjadikan mereka memiliki hak kemasyarakatan yang lebih banyak daripada orang lain.

Diantara   dalilnya   ialah   keumuman   hadits-hadits    yang menganjurkan  menjenguk  orang  sakit, yang  tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan.

Sedangkan diantara dalil  khususnya  ialah  yang  diriwayatkan oleh  Imam  Muslim  dalam  Shahih-nya  dari Jabir bin Abdullah r.a.:

"Bahwa Rasulullah saw. pernah menjenguk Ummu Saib --atau Ummul Musayyib-- lalu beliau bertanya, 'Wahai Ummus Saib, mengapa engkau menggigil?' Dia menjawab, 'Demam, mudah-mudahan Allah tidak memberkatinya.' Beliau bersabda, 'Janganlah engkau memaki-maki demam, karena dia dapat menghilangkan dosa-dosa anak Adam seperti ububan (alat pengembus api pada tungku pandai besi) menghilangkan karat besi.'"20

Padahal, Ummus Saib tidak termasuk salah seorang  mahram  Nabi saw. Meskipun begitu, dalam hal ini harus dijaga syarat-syarat yang  ditetapkan  syara',  seperti  aman   dari   fitnah   dan memelihara adab-adab  yang  sudah  biasa  berlaku  (dan tidak bertentangan  dengan  prinsip  Islam;  Penj.),   karena   adat kebiasaan itu diperhitungkan oleh syara'.

Catatan kaki :
12 HR Abu Daud dan disahkan oleh Hakim. Diriwayatkan juga oleh Bukhari dengan susunan redaksional yang lebih lengkap, sebagaimana terdapat dalam Fathul-Bari, juz 10, hlm. 113. Lihat juga al-Adabul-Mufrad, karya Imam Bukhari, "Bab al-'Iyadah minar-Ramad," hadits no. 532. ^
13 Al-Bukhari dalam Fathul-Bari, hadits nomor 5656. ^
14 Fathul-Bari, juz 10, hlm. 119. ^
15 Diriwayatkan oleh Bukhari sebagaimana tertera dalam Fathul-Bari, juz 10, hlm. 118, hadits 5655. Beliau juga meriwayatkannya dalam al-Jana'iz.5651. ^
17 Ibid. ^
18 Al-Adabul-Mufrad, karya al-Bukhari "Bab 'Iyadatin-Nisa' ar-Rijal al-Maridh," hadits nomor 530. ^
19 Al-Bukhari dalam Fathul-Bari, hadits nomor 5654. ^
20 Muslim dalam "Kitab al-Birr," hadits nomor 4575. ^

SAYA MUDAH TERANGSANG

SAYA MUDAH TERANGSANG

Pertanyaan:

Saya adalah seorang pelajar  sekolah  lanjutan.  Saya  cinta kepada  agama  dan  tekun  beribadah. Tetapi saya menghadapi suatu  kendala,  yaitu   mudah   terangsang   bila   melihat pemandangan yang  membangkitkan  syahwat, dan hampir-hampir saya tidak dapat menguasai diri dalam hal ini. Keadaan  ini membuat  saya  repot  karena  harus sering mandi dan mencuci pakaian  dalam. Bagaimana  saran  Ustadz  untuk  memecahkan problematika  ini  sehingga  saya dapat memelihara agama dan ibadah saya dengan baik?

Jawaban:

Pertama, saya berdoa  semoga  Allah  memberi  berkah  kepada Anda,  pemuda  yang begitu besar perhatiannya terhadap agama yang lurus ini, dan saya minta kepada Anda  agar  senantiasa berpegang teguh dengannya dan tetap antusias kepadanya, jauh dari teman-teman yang jelek  perilakunya,  serta senantiasa menjaga  agama  dari  gelombang  materialisme dan kebebasan, yang telah banyak merusak  pemuda-pemuda  dan  remaja-remaja kita.  Juga  saya  sampaikan kabar gembira kepada Anda bahwa Anda bisa termasuk anggota tujuh golongan yang dinaungi oleh Allah  pada hari tidak ada lagi naunngan selain naungan-Nya, selama Anda taat kepada-Nya.

Kedua,  saya  nasihatkan   kepada   saudara   penanya   agar memeriksakan   diri   kepada  dokter spesialis,  barangkali problema yang  dihadapi  itu  semata-mata  berkaitan  dengam suatu  organ tubuh  tertentu, dan para dokter ahli tentunya memiliki obat untuk penyakit seperti ini. Allah berfirman: 

"...  maka   bertanyalah   kepada   orang   yang   mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An Nahl: 43)

Rasulullah saw. bersabda:

"Tidaklah  Allah menurunkan suatu penyakit melainkan Ia juga menurunkan obat untuknya." (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

Ketiga, saya nasihatkan juga kepada  Anda  agar  menjauhi sekuat   mungkin  -  segala  hal  yang dapat  membangkitkan syahwatnya  dan   menjadikannya   menanggung   beban   serta kesulitan (mandi  dan  sebagainya).  Adalah suatu kewajiban bagi  setiap  mukmin  untuk  tidak  menempatkan dirinya  di tempat-tempat  yang dapat menimbulkan kesukaran bagi dirinya dan menutup semua pintu tempat  berhembusnya  angin  fitnah atas diri dan agamanya. Simaklah kata-kata hikmah berikut:

"Orang  berakal  itu bukanlah orang yang pandai mencari-cari alasan  untuk  membenarkan kejelekannya  setelah   terjatuh kedalamnya,  tetapi  orang  berakal  ialah orang yang pandai menyiasati kejelekan agar tidak terjatuh ke dalamnya."

Diantara tanda orang salih  ialah  menjauhi  perkara-perkara yang  syubhat  sehingga tidak terjatuh ke dalam perkara yang haram, bahkan menjauhi sebagian yang  halal  sehingga  tidak terjatuh kedalam yang syubhat. Rasulullah saw. Bersabda:

"Tidaklah  seorang  hamba  mencapai  derajat muttaqin (orang yang takwa) sehingga  ia meninggalkan  sesuatu  yang  tidak terlarang karena khawatir terjatuh pada yang terlarang." (HR Tirmidzi, Ibnu  Majah,  dan  Hakim  dari  Athiyyah  as-Sa'di dengan sanad sahih)

Keempat,  setiap  yang  keluar  dari  tubuh manusia - karena melihat  pemandangan-pemandangan yang  merangsang  -  belum tentu mani (yang hukumnya wajib mandi jika ia keluar). Boleh jadi yang keluar  itu  adalah  madzi,  yaitu  cairan  putih, jernih,  dan rekat, yang keluar ketika sedang bercumbu, atau melihat  sesuatu  yang  merangsang,   atau   ketika   sedang mengkhayalkan   hubungan   seksual.  Keluarnya  madzi  tidak disertai  syahwat  yang  kuat,  tidak  memancar,  dan tidak diahkiri dengan kelesuan (loyo, letih), bahkan kadang-kadang keluarnya tidak terasa. Madzi  ini hukumnya  seperti  hukum kencing,  yaitu  membatalkan  wudhu (dan najis) tetapi tidak mewajibkan mandi. Bahkan Rasulullah saw. memberi  keringanan untuk  menyiram  pakaian yang terkena madzi itu, tidak harus mencucinya.

Diriwayatkan dari Sahl bin Hanif, ia berkata,  "Saya  merasa melarat  dan  payah  karena  sering mengeluarkan  madzi dan mandi, lalu saya adukan  hal  itu  kepada  Rasulullah  saw., kemudian   beliau  bersabda,  'Untuk  itu,  cukuplah  engkau berwudhu.' Saya bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimana dengan yang  mengenai  pakaian  saya?  Beliau  menjawab,  'Cukuplah engkau mengambil air setapak tangan,  lalu  engkau  siramkan pada  pakaian  yang terkena itu.'" (HR Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Beliau berkata, hasan sahih)

Menyiram pakaian (pada bagian yang terkena madzi) ini  lebih mudah  daripada  mencucinya,  dan ini  merupakan keringanan serta kemudahan  dari  Allah  kepada  hamba-hamba-Nya  dalam kondisi seperti  ini yang sekiranya akan menjadikan melarat jika harus mandi berulang-ulang. Maha Benar Allah Yang  Maha Agung yang telah berfirman:

"...  Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan  kamu  dan  menyempurnakan  nikmat-Nya  bagimu, supaya kamu bersyukur." (Al-Maa'idah: 6)

Wallahu a'lam.

HUKUM MENGGUGURKAN KANDUNGAN HASIL PEMERKOSAAN

HUKUM MENGGUGURKAN KANDUNGAN HASIL PEMERKOSAAN

Pengantar

Pertanyaan penting ini saya terima ketika buku ini telah  siap untuk  dicetak.  Yang mengajukan pertanyaan adalah Saudara Dr. Musthafa Siratisy, Ketua  Muktamar  Alami  untuk  Pemeliharaan Hak-hak    Asasi   Manusia   di   Bosnia   Herzegovina,   yang diselenggarakan di Zagreb ibu kota Kroasia,  pada  18  dan  19 September  1992. Saya juga mengikuti kegiatan tersebut bersama Fadhilatus-Syekh Muhammad al-Ghazali dan sejumlah ulama  serta juru dakwah kaum muslim dari seluruh penjuru dunia Islam.

Pertanyaan: 

Dr.   Musthafa  berkata,  "Sejumlah  saudara  kaum  muslim  di Republik Bosnia Herzegovina ketika mengetahui kedatangan Syekh Muhammad  al-Ghazali  dan  Syekh  al-Qardhawi,  mendorong saya untuk mengajukan pertanyaan yang menyakitkan dan membingungkan yang disampaikan secara malu-malu oleh lisan para remaja putri kita yang diperkosa  oleh  tentara  Serbia  yang  durhaka  dan bengis,  yang  tidak  memelihara  hubungan  kekerabatan dengan orang mukmin dan tidak pula mengindahkan perjanjian, dan tidak menjaga  kehormatan dan harkat manusia. Akibat perilaku mereka yang penuh dosa (pemerkosaan) itu maka banyak  gadis  muslimah yang  hamil  sehingga menimbulkan perasaan sedih, takut, malu, serta merasa rendah dan hina. Karena itulah mereka menanyakan kepada  Syekh  berdua  dan  semua ahli ilmu: apakah yang harus mereka lakukan terhadap tindak kriminalitas beserta  akibatnya ini?   Apakah   syara'   memperbolehkan   mereka menggugurkan kandungan yang terpaksa mereka alami ini? Kalau kandungan  itu dibiarkan hingga si janin dilahirkan dalam keadaan hidup, maka bagaimana hukumnya? Dan sampai dimana tanggung jawab si  gadis yang diperkosa itu?"

Jawaban: 

Fadhilatus-Syekh  al-Ghazali  menyerahkan  kepada  saya  untuk menjawab  pertanyaan  tersebut   dalam   sidang,   maka   saya menjawabnya  secara lisan dan direkam agar dapat didengar oleh saudara-saudara khususnya remaja putri di Bosnia.

Saya pandang lebih bermanfaat lagi jika saya tulis jawaban ini agar   dapat   disebarluaskan   serta dijadikan  acuan  untuk peristiwa-peristiwa  serupa.  Tiada   daya   (untuk   menjauhi keburukan)  dan tiada  kekuatan  (untuk  melakukan  ketaatan) kecuali dengan pertolongan Allah.

Kita kaum muslim telah dijadikan objek oleh  orang-orang  yang rakus  dan  dijadikan  sasaran  bagi setiap pembidik, dan kaum wanita serta anak-anak  perempuan  kita  menjadi  daging  yang "mubah"   untuk  disantap  oleh  serigala-serigala  lapar  dan binatang-binatang  buas  itu  tanpa   takut   akibatnya   atau pembalasannya nanti.

Pertanyaan  serupa  juga  pernah  diajukan  kepada  saya  oleh saudara-saudara kita di Eritrea mengenai  nasib  yang  menimpa anak-anak  dan  saudara-saudara  perempuan  mereka akibat ulah tentara  Nasrani  yang  tergabung  dalam  pasukan   pembebasan Eritrea,  sebagaimana  yang diperbuat tentara Serbia hari ini terhadap anak-anak perempuan muslimah Bosnia yang tak berdosa.

Pertanyaan yang sama juga pernah diajukan beberapa tahun  lalu oleh  sekelompok  wanita mukminah  yang cendekia dari penjara orang-orang zalim jenis thaghut di beberapa negara  Arab Asia kepada  sejumlah  ulama di negara-negara Arab yang isinya: apa  yang harus  mereka  lakukan terhadap  kandungan  mereka  yang merupakan  kehamilan  haram  yang  terjadi bukan karena mereka berbuat dosa dan bukan atas kehendak mereka?

Pertama-tama perlu saya  tegaskan  bahwa  saudara-saudara  dan anak-anak  perempuan  kita,  yang telah  saya sebutkan, tidak menanggung dosa sama sekali terhadap  apa  yang  terjadi  pada diri   mereka,   selama  mereka  sudah  berusaha  menolak  dan memeranginya, kemudian mereka dipaksa di bawah acungan senjata dan  di  bawah  tekanan  kekuatan yang besar. Maka apakah yang dapat diperbuat oleh wanita tawanan yang tidak punya  kekuatan di hadapan para penawan atau pemenjara yang bersenjata lengkap yang tidak takut kepada Sang Pencipta dan tidak menaruh  belas kasihan kepada makhluk? Allah sendiri telah menetralisasi dosa (yakni tidak menganggap  berdosa)  dari orang  yang  terpaksa dalam  masalah yang lebih besar daripada zina, yaitu kekafiran dan mengucapkan kalimatul-kafri. Firman-Nya:
"... kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)." (an-Nahl: 106)
Bahkan Al-Qur'an mengampuni dosa (tidak  berdosa)  orang  yang dalam  keadaan darurat, meskipun ia masih punya sisa kemampuan lahiriah untuk berusaha,  hanya  saja  tekanan  kedaruratannya lebih  kuat.  Allah  berfirman setelah menyebutkan macam-macam makanan yang diharamkan:
"... Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Baqarah: 173)
Dan Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya Allah menggugurkan dosa dari umatku atas suatu perbuatan yang dilakukannya karena khilaf (tidak sengaja), karena lupa, dan karena dipaksa melakukannya."1

Bahkan   anak-anak   dan   saudara-saudara   perempuan    kita mendapatkan  pahala  atas musibah yang menimpa mereka, apabila mereka  tetap  berpegang  teguh  pada  Islam   --yang   karena keislamannyalah  mereka  ditimpa bala bencana dan cobaan-- dan mengharapkan  ridha  Allah  Azza wa  Jalla  dalam  menghadapi gangguan dan penderitaan tersebut. Rasulullah saw. bersabda:

"Tiada seorang muslim yang menderita kelelahan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, atau kerisauan, bahkan gangguan yang berupa duri, melainkan Allah akan menghapus dosa-dosanya denganperistiwa-peristiwa itu."2

Apabila  seorang  muslim  mendapat  pahala  hanya  karena  dia tertusuk  duri, maka bagaimana lagi jika kehormatannya dirusak orang dan kemuliaannya dikotori?

Karena itu saya nasihatkan kepada  pemuda-pemuda  muslim  agar mendekatkan  diri  kepada  Allah dengan menikahi salah seorang dari wanita-wanita tersebut, karena kasihan  terhadap  keadaan mereka   sekaligus  mengobati  luka  hati  mereka  yang  telah kehilangan  sesuatu  yang  paling berharga   sebagai   wanita terhormat dan suci, yaitu kegadisannya.

Adapun  menggugurkan kandungan, maka telah saya jelaskan dalam fatwa  terdahulu  bahwa  pada dasarnya  hal  ini   terlarang, semenjak   bertemunya  sel  sperma  laki-laki  dan  sel  telur perempuan, yang dari keduanya muncul  makhluk  yang  baru  dan menetap didalam tempat menetapnya yang kuat di dalam rahim.

Maka  makhluk baru ini harus dihormati, meskipun ia hasil dari hubungan yang haram seperti zina. Dan  Rasulullah  saw.  telah memerintahkan  wanita  Ghamidiyah  yang  mengaku telah berbuat zina dan akan dijatuhi hukuman rajam itu agar menunggu  sampai melahirkan  anaknya,  kemudian setelah itu ia disuruh menunggu sampai anaknya sudah tidak menyusu  lagi  --baru  setelah  itu dijatuhi hukuman rajam.

Inilah  fatwa  yang  saya pilih untuk keadaan normal, meskipun ada sebagian fuqaha yang memperbolehkan menggugurkan kandungan asalkan  belum  berumur empat puluh hari, berdasarkan sebagian riwayat yang mengatakan bahwa peniupan ruh terhadap janin  itu terjadi  pada  waktu berusia empat puluh atau empat puluh dua hari.

Bahkan sebagian fuqaha ada  yang  memperbolehkan  menggugurkan kandungan  sebelum berusia seratus dua puluh hari, berdasarkan riwayat yang masyhur bahwa peniupan  ruh  terjadi  pada  waktu itu.

Tetapi  pendapat  yang  saya pandang kuat ialah apa yang telah saya sebutkan sebagai pendapat pertama di atas, meskipun dalam keadaan udzur tidak ada halangan untuk mengambil salah satu di antara  dua  pendapat  terakhir  tersebut.  Apabila   udzurnya semakin kuat, maka rukhshahnya semakin jelas; dan bila hal itu terjadi sebelum berusia empat puluh hari  maka  yang  demikian lebih dekat kepada rukhshah (kemurahan/kebolehan).

Selain  itu, tidak diragukan lagi bahwa pemerkosaan dari musuh yang kafir dan durhaka,  yang melampaui  batas  dan  pendosa, terhadap wanita muslimah yang suci dan bersih, merupakan udzur yang kuat bagi si muslimah dan keluarganya  karena  ia  sangat benci  terhadap  janin  hasil pemerkosaan tersebut serta ingin terbebas  daripadanya.  Maka  ini  merupakan   rukhshah   yang difatwakan karena darurat, dan darurat itu diukur dengan kadar ukurannya.

Meskipun begitu, kita juga tahu bahwa ada fuqaha  yang  sangat ketat dalam masalah ini, sehingga mereka melarang menggugurkan kandungan meskipun baru berusia satu  hari.  Bahkan  ada  pula yang  mengharamkan usaha pencegahan kehamilan, baik dari pihak laki-laki  maupun   dari   pihak   perempuan,   ataupun   dari kedua-duanya,  dengan beralasan beberapa hadits yang menamakan nazl sebagai  pembunuhan  tersembunyi   (terselubung).   Maka tidaklah  mengherankan  jika  mereka mengharamkan pengguguran setelah terjadinya kehamilan.

Pendapat terkuat ialah pendapat yang tengah-tengah antara yang memberi kelonggaran dengan memperbolehkannya dan golongan yang ketat yang melarangnya.

Sedangkan pendapat yang  mengatakan  bahwa  sel  telur  wanita setelah  dibuahi  oleh  sel  sperma laki-laki  telah  menjadi manusia, maka yang demikian hanyalah  semacam  majas  (kiasan) dalam ungkapan, karena kenyataannya ia adalah bakal manusia.

Memang  benar  bahwa  wujud  ini  mengandung kehidupan, tetapi kehidupan itu sendiri bertingkat-tingkat dan bertahap, dan sel sperma  serta  sel  telur  itu  sendiri  sebelum bertemu sudah mengandung kehidupan, namun yang demikian  bukanlah  kehidupan manusia yang telah diterapkan hukum padanya.

Karena itu rukhshah terikat dengan kondisi udzur yang muktabar (dibenarkan), yang ditentukan oleh ahli  syara',  dokter,  dan cendekiawan.  Sedangkan  yang  kondisinya tidak demikian, maka tetaplah ia dalam hukum asal, yaitu terlarang.

Maka bagi  wanita  muslimah  yang  mendapatkan  cobaan  dengan musibah   seperti  ini  hendaklah memelihara  janin  tersebut --sebab menurut syara' ia tidak menanggung  dosa,  sebagaimana saya   sebutkan   di   muka--   dan  ia  tidak  dipaksa  untuk menggugurkannya. Dengan demikian, apabila janin tersebut tetap dalam kandungannya selama kehamilan hingga ia dilahirkan, maka dia adalah anak muslim, sebagaimana sabda Nabi saw.:

"Tiap-tiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah."3

Yang dimaksud dengan fitrah ialah tauhid, yaitu Islam.

Menurut ketetapan fiqhiyah, bahwa seorang anak  apabila  kedua orang  tuanya berbeda agama, maka dia mengikuti orang tua yang terbaik  agamanya.  Ini  bagi  orang  (anak)  yang   diketahui ayahnya, maka  bagaimana dengan anak yang tidak ada bapaknya? Sesungguhnya dia adalah anak muslim, tanpa diragukan lagi.

Dalam  hal  ini,  bagi  masyarakat  muslim  sudah   seharusnya mengurus  pemeliharaan  dan  nafkah anak itu serta memberinyapendidikan yang baik,  jangan  menyerahkan  beban  itu  kepada ibunya yang  miskin  dan  yang telah terkena cobaan. Demikian pula pemerintah  dalam  Islam,  seharusnya bertanggung  jawab terhadap pemeliharaan ini melalui departemen atau badan sosial tertentu. Dalam hadits sahih muttafaq 'alaih, Rasulullah  saw. bersabda:

"Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawabannya."4
  
Catatan kaki:
  1. HR Ibnu Majah dalam "ath-Thalaq," juz 1, him. 659, hadits nomor 2045; disahkan oleh Hakim dalam kitabnya,juz 2, hlm. 198; disetujui oleh adz-Dzahabi; dan diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Sunan-nya, juz 7, hlm. 356 ^
  2. HR Bukhari dalam "al-Mardha' (dari kitab Shahih-nya), juz 10, hlm. 103, hadits nomor 5641 dan 5642. ^
  3. HR Bukhari dalam "al-Jana'iz," juz 3, hlm. 245, hadits nomor 1385. ^
  4. HR Bukhari dalam "al-'Itq," juz 5, hlm. 181, hadits nomor 2558, dan dalam "an-Nikah," juz 9, hlm. 299, hadits nomor 5200. ^