FIQH PRIORITAS DALAM WARISAN PEMIKIRAN KITA


BARANGSIAPA yang mau menelusuri warisan  pemikiran  umat  yang sangat  kaya  ini,  maka  dia  akan  menemukan para ulama yang memberikan  perhatian  besar  terhadap  fiqh   prioritas   dan mewaspadai  kelalaian  terhadapnya, dalam berbagai bentuk yang tersebar   di   dalam   sumber-sumber   rujukan   Islam   yang bermacam-macam;   yang   dapat  ditelusuri  dalam  baris-baris berikut ini.

MENGENAI HARAMNYA ORANG YANG SEDANG IHRAM MEMBUNUH LALAT

Barangkali  pertama-lama  kita  patut   memberikan   perhatian terhadap  persoalan  ini.  Yaitu  riwayat yang shahih, berasal dari Abdullah bin Umar r.a. yang  diriwayatkan  oleh  Ibn  Abu Nu'aim  yang  berkata,  "Ada  seorang lelaki datang kepada Ibn Umar dan pada saat itu saya sedang duduk. Lelaki itu  bertanya kepadanya  tentang  darah  nyamuk."  Dalam  riwayat  yang lain disebutkan: "Lelaki itu bertanya  kepadanya  tentang  haramnya membunuh  lalat."  Maka  Ibn  Umar berkata kepadanya: "Berasal dari manakah engkau ini?" Lelaki itu menjawab,  "Berasal  dari Irak."  Ibn  Umar  berkata lagi: "Ha, lihatlah lelaki ini. Dia bertanya tentang darah nyamuk, padahal mereka  telah  membunuhanak  Rasulullah saw!! Padahal aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda,  ,Kedua  anak  ini  --al-Hasan  dan  al-Husain-- merupakan   hiburanku  di  dunia."  Dalam  riwayat  yang  lain disebutkan: "Penduduk Irak  bertanya  tentang  lalat,  padahal mereka telah membunuh cucu Rasulullah saw..." 1

Al-Hafiz  Ibn Hajar ketika memberikan penjelasan hadits ini di dalam Fath al-Bari mengatakan, "Ibn Umar  meriwayatkan  hadits ini  dengan  penuh  keheranan  terhadap semangat penduduk Irak yang menanyakan perkara kecil, tetapi mereka melanggar perkara yang besar." 2

Ibn  Battal berkata, "Ada satu pelajaran yang dapat kita ambil dari hadits tersebut, yaitu bahwa seseorang harus mendahulukan perkara   agama   yang  lebih  penting  bagi  dirinya.  Karena sesungguhnya  Ibn  Umar  tidak  senang  terhadap  orang   yang bertanya  kepada  dirinya  tentang  darah  nyamuk, padahal dia meninggalkan istighfar  dari  dosa  besar  yang  dilakukannya; yaitu dengan memberikan bantuan terhadap pembunuhan al-Husain. Ibn Umar mencela orang tersebut,  dan  mengingatkan  peristiwa itu  karena  besar  dan  tingginya kedudukan al-Husain di sisi Nabi saw." 3

Ketidaksenangan Ibn Umar bukanlah terhadap orang yang bertanya itu,  tetapi  dia  bermaksud  mengingkari trend pemikiran pada suatu kelompok manusia yang hendak memperdalam perkara-perkara yang kecil, dan menyibukkan diri mereka di situ, dan pada masa yang sama mereka mengabaikan perkara-perkara yang besar.

Apa yang terjadi pada masa Ibn Umar juga terjadi pada anaknya, Salim,  juga  dengan  penduduk Irak. Mereka bertanya kepadanya tentang sebagian perkara kecil, padahal dalam saat  yang  sama mereka  terjebak dalam perkara-perkara besar, yakni pembunuhan dan penumpahan darah antara sebagian  mereka  dengan  sebagian yang   lain.  Dia  memberikan  peringatan  yang  sangat  keras terhadap hal itu dengan menyampaikan suatu hadits yang shahih: "Setelab  kepergianku janganlah kamu menjadi kafir kembali, di mana sebagian dan kamu membunuh sebagian yang lain."

Muslim meriwayatkan  dalam  kitab  al-Fitan,  dari  Salim  bin Abdullah  bahwasanya dia berkata, "Wahai penduduk Irak, apakah sebenarnya yang membuat kamu bertanya tentang  perkara-perkara yang kecil, dan yang menjadikan kamu melakukan dosa besar. Aku mendengar ayahku, Abdulla  ibn  Umar  berkata,  Aku  mendengar Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya fitnah akan muncul dari sini --sambil tangan beliau saw menunjuk ke  arah  timur--  di mana  dua  tanduk  setan  akan muncul dari sana." Sekarang ini sebagian kamu membunuh sebagian yang  lain,  dan  sesungguhnya Musa  pernah  salah  bunuh, kemudian Allah SWT berfirman, "... dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu Kami selamatkan kamu  dari  kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan..."

Di antara warisan fiqh prioritas dalam warisan pemikiran  kita ialah  sebuah risalah yang sangat cemerlang, yang diriwayatkan oleh al-hafizh Ibn 'Asakir dalam riwayat  hidup  Abdullah  bin al-Mubarak,  dari  Muhammad  bin Ibrahim bin Abu Sukainah yang berkata,  "Abdullah  bin   al-Mubarak   mendiktekan   kepadaku bait-bait  syair  ini  di  Tarsus, ketika itu aku meminta izin kepadanya untuk keluar. Dia  memperdengarkan  bait-bait  syair itu  bersamaku kepada al-Fudhail bin 'Iyadh pada tahun seratus tujuh puluh." Dalam riwayat yang lain  disebutkan  pada  tahun seratus tujuh puluh tujuh.

Wahai para ahli ibadah di al-Haramain, kalau kamu menyaksikan kami, maka kamu akan mengetahui bahwa sesungguhnya kamu bermain-main dalam ibadah. Kalau orang-orang membasahi pipinya dengan air mata yang mengucur deras, maka dengan pengorbanan kami, kami mengucurkan darah yang lebih deras. Kalau kuda orang-orang kepenatan dalam perkara yang batil, maka sesungguhnya kuda-kuda kami penat dalam melakukan penyerbuan dan peperangan di pagi hari. Bau wewangian menjadi milikmu, sedangkan bau wewangian kami, adalah debu-debu jalanan dan debu-debu itu lebih wangi. Telah datang kepada kami sabda Nabi kami. Sabda yang benar, jujur dan tidak bohong. Tidak sama debu kuda-kuda Allah di hidung seseorang dan asap api yang menyala-nyala; Inilah kitab Allah yang berbicara kepada kami, Bahwa orang yang mati syahid tidak diragukan lagi tidak sama dengan orang yang mati biasa.

Ibrahim  berkata,  "Kemudian  aku   pernah   berjumpa   dengan al-Fudhail  bin  'Iyadh  yang  membawa  tulisan  itu di masjid al-Haram. Ketika membacanya,  kedua  matanya  mengucurkan  air mata   sambil  berkata,  'Abu  Abdurrahman  benar  ketika  dia memberikan nasihat kepadaku.'", Ibrahim berkata lagi:  "Apakah kamu  termasuk  salah  seorang  yang menulis riwayat ini?" Dia menjawab, "Ya." Ibrahim berkata kepadanya,  "Tulislah  riwayat tersebut  sebagai  orang yang pernah melihat peristiwa itu dan yang  membawa  tulisan  dari  Abu  Abdurrahman  kepada   kami. Kemudian  al-Fudhail  mendiktekan  kepada  kami:  Manshur  bin al-Mu'tamir meriwayatkan kepada kami, dari  Abu  Shalih,  dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya ada seorang lelaki berkata kepada Rasulullah saw,  'Wahai  Rasulullah,  ajarkan  kepadaku  suatu amalan  yang  aku  dapat  memperoleh  pahala  orang-orang yang berjihad  di  jalan  Allah.'  Maka  Rasulullah  saw  menjawab, 'Apakah   engkau  dapat  melakukan  shalat  dan  puasa  secara terus-menerus?' Lelaki itu menjawab,  'Wahai  Rasulullah,  aku terlalu   lemah  untuk  melakukan  hal  itu.'  Maka  Nabi  saw bersabda, 'Demi yang diriku berada di tangan-Nya,  kalau  kamu mampu  melakukan  hal  itu  maka  kamu  tidak  dapat  mencapai angkatan orang-orang yang berjihad di jalan Allah.  Atau  kamu tidak  mengetahui  bahwa sesungguhnya kuda yang berperang akan mendapatkan  pahala,  sehingga  berbagai  kebaikan  dituliskan untuknya."

Kisah  di  atas  disebutkan  dalam  salah satu seminar tentang pemikiran Islam di Aljazair, lalu  salah  seorang  tokoh  juru da'wah  menolaknya,  dan  tidak  membenarkan  bahwa cerita itu memiliki dasar yang benar.  Karena  bagaimana  Ibn  al-Mubarak menamakan  ibadah di al-Haramain sebagai suatu permainan? Yang jelas, kisah itu benar.  Ibn  'Asakir  menyebutkan  kisah  itu berikut  sanadnya dalam riwayat hidup Abdullah bin al-Mubarak, kemudian dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya, di akhir   surat   Ali  'Imran,4  yang  mengaku  kebenaran  kisah tersebut. Al-Hafiz al-Dzahabi juga menyebutkan  riwayat  hidup Ibn al-Mubarak dalam ensiklopedianya, Siyar A'lam an-Nubala' 5 Dalam kisah itu tidak ada pernyataan yang bertentangan  dengan aqidah   Islam   dan   nash-nashnya,   bahkan  Ibn  al-Mubarak mempergunakan dalil dari al-Qur'an dan sunnah Nabi  saw  dalam menggubah syairnya, sebagaimana dikuatkan oleh ahli ibadah dan zuhud, al-Fudhail, yang pernah didikte oleh Ibn al-Mubarak.

Tokoh kita, al-Bahi  al-Khuli,  menyebutkannya  dalam  bukunya yang  terkenal,  Tadzkirah  ad-Du'at,  dan memberikan komentar atas kisah itu sebagai berikut:

"Ibn al-Mubarak menulis perkataan.ini untuk sahabatnya, al-Fudhail, pada saat jihad belum menjadi fardhu ain. Walaupun demikian dia menilai ibadahnya sebagai suatu permainan, pada hal ibadah itu dilakukan di tempat yang paling mulia di muka bumi ini. Tahukah kamu apa yang akan dikatakan oleh Ibn al-Mubarak kalau jihad telah menjadi fadhu ain? Dan apa yang akan dikatakan olehnya tentang ibadah di luar masjid al-Haram?" 6

Tetap Bergaul dengan Masyrakat ketika Terjadi Kerusakan  Moral ataukah Mengucilkan Diri dari Mereka?

Di  antara  warisan  pemikiran para ulama terdahulu yang dapat kita  ikuti  sekarang  ini  ialah  topik  pembahasan  mengenai persoalan  manakah  yang  lebih utama bagi seorang Muslim pada saat  terjadinya  fitnah  dan  menyebarnya   kemaksiatan   dan kerusakan.  Apakah dia harus ikut serta menceburkan diri dalam masyarakat  ataukah  berusaha   untuk   memperbaikinya,   atau memencilkan diri dari mereka dan menyelamatkan diri sendiri.

Orang-orarg  sufi...  kebanyakan  lebih  memilih tindakan yang kedua. Sedangkan ulama rabbani dan pejuang lebih  mementingkan jalan  para nabi. Yakni tetap bergaul dan berusaha memperbaiki mereka dengan penuh  kesabaran  dalam  menerima  siksaan  yang dilakukan oleh manusia.

Ibn Umar meriwayatkan dari Nabi saw,

"Orang beriman yang tetap bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka adalah lebih baik daripada orang yang tidak mau bergaul dengan mereka dan tidak bersabar atas gangguan mereka." 7

Imam Abu Hamid  al-Ghazali  dalam  buku  Ihya'-nya  memberikan komentar  di  sekitar keuntungan dan kerugian memencilkan diri dan tetap bergaul dengan mereka.

Topik  lainnya  yang  juga  menjadi  pembahasan  mereka  ialah tentang  dunia  dan kekayaannya. Manakah yang lebih utama kita menggeluti  dunia  dan  kemewahannya,  ikut  serta   melakukan kesibukan dalam urusan dunia bersama mereka dan ikut merasakan kenikmatannya  dengan  tetap  memperhatikan  batas-batas  yang ditetapkan  oleh  Allah  SWT;  ataukah  kita  memalingkan diri darinya dan menjauhinya, serta menjauhi orang kaya,  perhiasan dunia, dan harta kekayaannya?

Kebanyakan  orang sufi lebih memilih tindakan yang kedua, akan tetapi ulama rabbani yang benar  dari  ulama  umat  ini  lebih memilih tindakan yang pertama; sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi. Seperti Nabi Yusuf, Dawud, dan Nabi Sulaiman, serta para  tokoh  senior  sahabat  Rasulullah  saw, seperti Utsman, Abdurrahman bin Auf, Talhah, Zubair, Sa'ad, dan lain-lain

Al-Allamah Abu al-Faraj ibn al-Jawzi (w. 597 H.) menolak sikap para  sufi yang mencela dunia secara mutlak, dan menganggapnya sebagai  suatu  keburukan  dan  bencana,   serta   tidak   mau memilikinya  dan  mencarinya  walaupun kekayaan itu halal. Ibn al-Jawzi dalam buku  kritiknya,  Talbis  Iblis,  mempergunakan dalil  yang  berasal  dari  al-Qur'an,  sunnah Rasulullah saw, petunjuk para sahabat, dan kaidah-kaidah syari'ah agama.

MENINGGALKAN LARANGAN ATAU MELAKUKAN KETAATAN?

Di antara warisan itu ada juga pembahasan tentang manakah yang lebih  utama  dan  diprioritaskan  di sisi Allah, meninggalkan larangan dan yang diharamkan ataukah mengerjakan  perintah-Nya dan mentaati-Nya?

Sebagian   ulama   mengatakan,  "Meninggalkan  larangan  lebih penting  daripada  melakukan  perintah."  Mereka  mengeluarkan pernyataan itu berdasarkan dalil hadits shahih yang disepakati keshahihannya,   yang   disebutkan   oleh   al-Nawawi    dalam al-Arbain-nya, dan.juga disebutkan dalam Syarh Ibn Rajab dalam Jami'-nya; yaitu:

"Apabila aku melarangmu dari sesuatu, maka jauhilah dia; dan apabila aku memerintahkanmu tentang suatu perkara maka kerjakanlah dia sesuai dengan kemampuanmu." 8

Dari hadits  tersebut  dapat  dipahami  bahwa  larangan  lebih diutamakan   daripada   perintah,  karena  sesungguhnya  dalam larangan tidak  dikenal  adanya  keringanan  (rukhshah)  dalam suatu  perkara,  sedangkan perintah dikaitkan dengan kemampuan orang yang hendak mengerjakannya.  Pendapat  ini  diriwayatkan dari Imam Ahmad

Pendapat  ini  serupa  dengan  pendapat  sebagian  ulama  yang mengatakan, "Amal kebajikan  dilakukan  oleh  orang  baik  dan orang  yang  durhaka, sedangkan kemaksiatan tidak ditinggalkan kecuali oleh orang yang jujur."9

Diriwayatkan  dari  Abu  Hurairah  r.a.  bahwasanya  Nabi  saw bersabda kepadanya,

"Hindarilah perkara-perkara yang diharamkan, niscayaengkau akan menjadi manusia yang paling baik dalamberibadah." 10

'Aisyah  r.a.  berkata,  "Barangsiapa  yang  ingin   menyaingi kebaikan  orang yang selalu bersungguh-sungguh, maka hendaklah dia  menahan  diri  dari  berbagai  dosa."  Diriwayatkan  dari 'Aisyah secara marfu'. 11

Al-Hasan berkata, "Tidak ada sesuatu yang dapat dipersembahkan oleh seorang hamba kepada Tuhannya yang  lebih  baik  daripada meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT."

Sebetulnya,  riwayat  yang  menyebutkan keutamaan meninggalkan hal-hal  yang   haram   atas   perbuatan   ketaatan   hanyalah dimaksudkan  dalam ketaatan untuk perkara-perkara yang sunnah. Jika tidak, maka sesungguhnya jenis amalan  yang  wajib  lebih utama  daripada  jenis meninggalkan hal-hal yang haram. Karena memang amalan itulah yang dimaksudkan, sedangkan hal-hal  yang haram  itu  dituntut  ketidakberadaannya;  dan  oleh sebab itu tidak  memerlukan  niat.  Berbeda  dengan  amalan  yang   bila ditinggalkan  bisa menyebabkan kekufuran; seperti meninggalkan tauhid, meninggalkan seluruh atau sebagian  rukun  Islam.  Hal ini akan berbeda dengan melakukan perbuatan terlarang, di mana perbuatan itu sendiri  tidak  mengandung  kekufuran.  Hal  ini dibuktikan  dengan ucapan Ibn Umar, "Sesungguhnya menolak satu daniq  (1/6  dirham)  yang  haram  itu  lebih  baik   daripada menafkahkan seratus ribu daniq di jalan Allah SWT.

Diriwayatkan  dari  sebagian  ulama  salaf: "Meninggalkan satu daniq yang tidak disukai oleh Allah SWT adalah lebih aku sukai daripada lima ratus kali melakukan ibadah haji."

Maimun  bin  Mihran  berkata,  "Mengingat  Allah  dengan lidah adalah  baik,  dan  lebih  utama  lagi  jika   seorang   hamba mengingat-Nya  saat  hendak  melakukan  maksiat  kemudian  dia mencegah diri dari melakukannya."

Ibn al-Mubarak berkata, "Penolakanku terhadap satu dirham yang berasal   dari   syubhat  adalah  lebih  aku  cintai  daripada bershadaqah seratus ribu dan  seratus  ribu,  sehingga  sampai enam ratus ribu."

Umar bin Abd al-Aziz berkata, "Ketaqwaan itu bukan berjaga dan beribadah di malam hari, atau berpuasa  di  siang  hari,  atau kedua-duanya  sekaligus;  akan  tetapi  ketaqwaan  itu  adalah menunaikan apa yang difardhukan Allah SWT dan meninggalkan apa yang  diharamkan  Allah  SWT.  Jika setelah itu masih ada lagi amalan yang dapat dikerjakan, maka  ia  adalah  kebaikan  yang ditambahkan kepada kebaikan."

Dia  juga  mengatakan,  "Aku  senang  kalau  aku  tidak  dapat melakukan shalat selain shalat lima waktu  dan  shalat  witir; dapat  menunaikan zakat kemudian setelah itu tidak bershadaqah dengan satu dirham pun; berpuasa Ramadhan dan  tidak  berpuasa satu  hari  pun  setelah  itu;  melakukan ibadah haji kemudian tidak melakukan haji lagi selamanya sesudah itu;  lalu  dengan sisa   kekuatanku,  diriku  ini  berniat  melakukan  apa  yang diharamkan oleh Allah kepadaku, tetapi aku dapat mencegahnya."

Kesimpulan pendapat mereka ialah bahwa menjauhi  hal-hal  yang diharamkan  --walaupun jumlahnya sangat sedikit-- adalah lebih utama daripada memperbanyak  ketaatan  yang  hukumnya  sunnah. Karena  sesungguhnya  menjauhi  larangan  hukumnya  fardhu dan memperbanyak ketaatan dalam hal yang sunnah hukumnya sunnah.

Kelompok ulama khalaf mengatakan, "Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda,  'Apabila aku melarangmu dari sesuatu, maka jauhilah dia; dan apabila aku  memerintahkanmu  tentang  suatu  perkara maka kerjakanlah dia sesuai dengan kemampuanmu,' adalah karena mentaati Allah SWT dalam suatu perkara tidak  dapat  dilakukan kecuali  dengan  melakukan  amalan,  dan amalan itu bergantung kepada adanya beberapa syarat dan  sebab;  sedangkan  sebagian sebab  itu ada yang tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, Rasulullah saw  mengaitkannya  dengan  kemampuan?  sebagaimana Allah SWT mengaitkan perintah-Nya untuk melakukan taqwa dengan kemampuan.

"Maka bertagwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu ..." (at- Taghabun: 16)
  
"... mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, (bagi) orang yang mampu melaksanakannya" (Ali Imran: 97)

Sedangkan tuntutan pada larangan ialah  meniadakan  perbuatan. Itulah  hukum asalnya. Maksudnya hendaklah perbuatan itu tidak ada untuk selama-lamanya. Sehingga tidak dikenal  di  dalamnya kemampuan  untuk  tidak  dapat  melakukannya Sehubungan dengan masalah itupun ada beberapa pandangan. Kekuatan yang mendorong kepada   perbuatan   maksiat  itu  bisa  jadi  kuat,  sehingga seseorang  tidak  memiliki  kesabaran  untuk   mencegah   diri darinya,     padahal     dia    memiliki    kemampuan    untuk melakukannya.Sehingga  pencegahan  untuk  kasus  seperti   ini memerlukan  usaha  keras,  dan barangkali melebihi usaha dalam memberikan semangat  kepada  jiwa  seseorang  untuk  melakukan ketaatan.  Oleh  sebab  itu, banyak sekali orang yang berusaha keras  melakukan  ketaatan,  tetapi  dia  tidak   kuat   untuk meninggalkan  perkara-perkara  yang  diharamkan.  Umar  pernah ditanya tentang suatu umat Islam yang sangat mudah digoda oleh kemaksiatan   tetapi   mereka   tidak   melakukan  kemaksiatan tersebut. Dia menjawab, "Mereka adalah suatu umat Muslim  yang hati  mereka  diuji  oleh  Allah  SWT  dalam ketaqwaan. Mereka berhak memperoleh ampunan dan pahala yang besar." 12

Yazid bin Maisarah berkata bahwa  Allah  SWT  berfirman  dalam sebagian  kitab  suci-Nya  yang  lain,  "Wahai pemuda yang mau meninggalkan  nafsu  syahwatnya,   yang   menghabiskan   waktu remajanya  untuk-Ku, engkau di sisi-Ku adalah seperti sebagian malaikat-Ku." 13

Dia juga berfirman,  "Alanglah  dahsyatnya  nafsu  syahwat  di dalam  tubuh  manusia.  Ia  bagaikan  api  yang membakar. Maka bagaimana  mungkin  orang  yang  tak  berpagar  dapat  selamat darinya?" 14

Kesimpulannya,   sesungguhnya  Allah  tidak  memberikan  beban kepada para hamba-Nya  untuk  melakukan  amal  perbuatan  yang tidak  mampu  mereka lakukan. Dan banyak sekali amal perbuatan yang tidak dibebankan lagi kepada mereka oleh Allah SWT  hanya karena  ada  kesulitan,  sebagai  keringanan  dan  rahmat bagi mereka. Sedangkan perkara yang berkaitan dengan larangan, maka tidak  ada  seorangpun yang dimaafkan apabila dia melakukannya dengan kekuatan nafsu  syahwatnya.  Bahkan,  Allah  memberikan beban   kepada   mereka   untuk  meninggalkannya  bagaimanapun keadaannya. Allah membolehkan seseorang untuk memakan  makanan yang  diharamkan  ketika  dia  berada di dalam keadaan darurat untuk mempertahankan hidup, dan bukan  untuk  bersenang-senang dan  memuaskan  nafsu  syahwatnya.  Atas dasar itu, kita dapat mengetahui kebenaran  apa  yang  dikatakan  oleh  Imam  Ahmad: "Sesungguhnya  larangan  itu  lebih  berat daripada perintah." Diriwayatkan  dari  Nabi  saw,  dari  Tsauban,  dan  lain-lain bahwasanya beliau bersabda,

"Istiqamahlah terus, tetapi kamu tidak akan mendapatkannya." 15

Yakni tidak akan dapat mencapai derajat kesempurnaan.

Diriwayatkan oleh Ahmad, 5: 282. Darimi, 1: 168 dari  al-Walid bin  Muslim:  "Ibn  Tsauban  memberitahukan kepada saya, bahwa Hisan  bin  'Athiyah  memberitahu  saya  bahwa   Abu   Kabsyah al-Saluli berkata bahwasanya dia mendengar Tsauban berkata..."

KAYA DISERTAI SYUKUR ATAUKAH MISKIN DISERTAI SABAR?

Di antara pembahasan yang termasuk di dalam fiqh  pertimbangan atau  fiqh  prioritas  ialah  apa yang dibahas oleh para ulama terdahulu di sekitar pertanyaan ini, "Manakah yang lebih utama dan  lebih  banyak  pahalanya,  kaya  tetapi bersyukur ataukah miskin tetapi bersabar? Dengan kata lain: "Menjadi orang  yang kaya   tetapi  bersyukur  atau  menjadi  orang  miskin  tetapi bersabar?"

Jawaban atas pertanyaan itu bermacam-macam. Ada  yang  memilih pernyataan pertama dan ada juga memilih yang kedua.

Bagi   saya,   setelah  menghayati  nash-nash  yang  berkaitan dengannya dan melakukan  kajian  perbandingan  atas  nash-nash tersebut,  maka  saya  memilih  pernyataan bahwa menjadi orang kaya tetapi mau bersyukur adalah lebih  utama.  Untuk  menjadi orang  kaya  tetapi  mau  bersyukur  adalah sesuatu yang tidak mudah, sebagaimana dugaan orang banyak. Allah SWT berfirman:

"... Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih... (Saba': 13)

Allah SWT berfirman menirukan apa yang  dikatakan  oleh  Iblis terlaknat:

"... Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (al-A'raf: 17)
  
Rasulullah saw pernah memohon kekayaan kepada Allah  SWT,  dan memohon perlindungan dari-Nya untuk dijauhkan dari kemiskinan.

Rasulullah saw berdoa,

"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketaqwaan, kesucian diri, dan kekayaan." 16
  
"Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kemiskinan, kepapaan, dan kehinaan. Dan aku berlindung kepada-Mu dari kezaliman orang dan menzalimi orang." 17
  
"Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kemiskinan, kekufuran, kefasikan, perpecahan, dan kemunafiqan." 18
  
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan, karena sesungguhnya ia adalah seburuk-buruk sahabat." 19

Rasulullah saw pernah bersabda kepada Sa'ad,

"Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bertaqwa,  kaya, dan tidak menonjolkan dirinya." 20

Rasulullah saw bersabda kepada Amr'

"Wahai Amr, sebaik-baik harta ialah harta yang dimiliki oleh orang yang shaleh." 21

Hadits  "Orang-orang  kaya  meraih  tingkat  yang   tinggi..." menunjukkan   bahwa   orang-orang   kaya  apabila  mereka  mau bersyukur kepada nikmat Allah,  dan  menunaikan  haknya,  maka mereka    akan    mendapatkan   kesempatan   untuk   melakukan amalan-amalan  fardhu  yang   tidak   dapat   dilakukan   oleh orang-orang  miskin.  Oleh  karena  itu  dalam  hadits  pernah disebutkan, "Itulah kelebihan yang diberikan  oleh  Allah  SWT kepada  siapa  saja yang dikehendakiNya." (Bukhari, 843, 6329, dan Muslim, 595)

Allah SWT telah  memuji  rasul-rasul-Nya  yang  mulia,  karena mereka mau bersyukur kepadaNya. Seperti syaikh para rasul, Nuh a.s., yang dipujiNya dalam firman-Nya:

" ... Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba Allah yangbanyak bersyukur. (al-Isra': 3)

Dan Ibrahim bapak para nabi dan umat Islam ketika dipuji  olehm Allah SWT:

"(lagi) mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus." (an-Nahl: 121)

Dan juga nikmat-Nya yang diberikan kepada nabi Dawud dan  nabi Sulaiman,

"...Bekerjalah hai keluarga Dawud untuk bersyukur kepada Allah. Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih." (Saba': 13)

Dan juga dikisahkan tentang Sulaiman a.s. yang berkata  ketika dia telah mendengar perbincangan yang dilakukan oleh semut.

"... Ya Tuhan, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku..." (an-Naml:19)

Begitu pula kisah tentang Yusuf a.s.

"... Ya Tuhanku, sesungguhnya engkau telahmenganugerahkan kepadaku, sebagian kerajaan dan telahmengajarkan kepadaku sebagian ta'bir mimpi..." (Yusuf:101)

Dan kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada rasul-Nya  yang terakhir.

"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan." (ad-Dhuha: 8)
  
"Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)." (ad-Dhuha: 11)

Serta  kenikmatan  yang  diberikan-Nya  kepada  para   sahabatRasulullah saw.

"Dan ingatlah hai para muhajirin ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di maka bumi (Makkah), kamu takut orang-orang (Makkah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rizki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur." (al-Anfal: 26).

Catatan kaki:


1 Diriwayatkan oleh Ahmad melalui dua jalan, 5675, 5568, yang di-shahih-kan oleh Syaikh Syakir dalam duatempat. Bukhari meriwayatkannya dalam dua tempat jua, dalam al-Manaqib (3573) dan dalam al-Adab al-Mufrad (5994), Bukhari dan Fath al-Bari.
2 al-Fath, 7: 95, Penerbit Dar al-Fikr yang dicetak dari al-Salafiyyah.
4 Lihat Tafsir Ibn Katsir. cet. Isa al-Halabi. 1:447
5 Lihat Siyar A'lam al-Nabala', 8: 364, 365.
6 Tadzkirah al-Du'at, h. 212.
7 Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad; Tirmidzi, dan Ibn Majah sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir, 6651.
8 Muttafaq Alaih' diriwayatkan oleh Bukhari (7288); dan Muslim (1337).
9 Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dari ucapan Sahl bin Abdullah at-Tasturi, dalam al-Hilyah, 10: 211
10 Sabda Nabi saw ini merupakan potongan daripada hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, 2: 310; Tirmidzi (2305); yang dianggap hadits gharib oleh Tirmidzi. Akan tetapi ada isnad lain dari Ibn Majah (4217) Yang menguatkan hadits tersebut; Baihaqi dalam al-Zuhd (818); Abu Nu'aim dalam al-Hilyah, 10: 365; yang dianggap sebagai hadits hasan oleh al-Bushiri dalam Misbah al-Zujajah.
11 Diriwayatkan oleh Abu Ya'la (4950). Di dalam sanad-nya terdapat Suwaid bin Sa'id, dan Yusuf bin Maimun. Keduanya orang yang lemah.
12 Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Zuhd, sebagaimana yang termuat dalam Tafsir Ibn Katsir, 7: 248; dari Mujahid, dari Umar, tetapi dia tidak mendengarkannya darinya, sehingga riwayat ini dianggap munaqathi'
13 Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam al-Hilyah, 5: 237
14 al-Hilyah, 5: 241
15 Hadits shahih, yang diriwayatkan oleh Ahmad, 5: 276, 277, 282; Darimi, 1: 168; Ibn Majah, 288 dari Salim bin Abu Ja'd, dari Nauban, yang di-shahih-kan oleh Hakim,1: 130 dan disepakati okh al-Dzahabi.
16 Diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Ibn Mas'ud, Shahih. al-Jami', as-Shaghir, 1275
17 Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasai, Ibn Majah, Hakim dari Abu Hurairah r a ( al-Jami', as-Shaghir, 1287)
18 Diriwayatkan oleh Hakim dan Baihaqi di dalam al-Du'a,dari Anas, ibid., 1285
19 Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasai dan Ibn Majah dari Abu Hurairah r.a., ibid., 1283
20 Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dari Sa'ad bin Abi Waqqash.
21 Diriwayatkan oleh Ahmad dan di-shahih-kan oleh Hakim, Ibn Hibban, dari Amr bin Ash.


0 comments:

Post a Comment