II. HUBUNGAN ANTARA FIQH PRIORITAS DAN FIQH PERTIMBANGAN


FIQH prioritas  memiliki  hubungan  yang  sangat  erat  dengan bentuk  fiqh  lainnya, dalam beberapa hal, seperti yang pernah kami tulis sebelumnya.

Ia berkaitan dengan fiqh pertimbangan (muwazanah), yang pernah saya  bahas  dalam buku saya Prioritas Gerakan Islam. Di dalam buku itu saya mengutip beberapa pokok  pikiran  Syaikh  Islam, Ibn Taimiyah, yang saya pandang sangat berguna.

Peran  terpenting  yang dapat dilakukan oleh fiqh pertimbangan ini ialah:

1) Memberikan pertimbangan antara berbagai kemaslahatan dan manfaat dari berbagai kebaikan yang disyariatkan.
  
2) Memberikan pertimbangan antara berbagai bentuk kerusakan, madharat, dan kejahatan yang dilarang oleh agama.
  
3) Memberikan pertimbangan antara maslahat dan kerusakan, antara kebaikan dan kejelekan apabila dua hal yang bertentangan ini bertemu satu sama lain.

PERTIMBANGAN ANTARA BERBAGAI KEMASLAHATAN SATU DENGAN LAINNYA

Pada kategori pertama  (kemaslahatan),  kita  dapat  menemukan kemaslahatan  yang telah ditetapkan oleh syari'ah agama, bahwa kemaslahatan tidak  berada  pada  satu  peringkat.  Tetapi  ia bertingkat-tingkat,  sebagaimana  peringkat  utama  yang telah ditetapkan  oleh  para  ahli   usul   fiqh.   Mereka   membagi kemaslahatan  itu menjadi tiga tingkatan dengan urutan sebagai berikut:   dharuriyyat,   hajjiyyat,   dan   tahsinat.    Yang dimaksudkan  dengan  dharuriyyat ialah sesuatu yang kita tidak bisa hidup kecuali dengannya; dan  hajjiyyat  ialah  kehidupan memungkinkan   tanpa   dia,  tetapi  kehidupan  itu  mengalami kesulitan dan  kesusahan;  dan  tahsinat  ialah  sesuatu  yang diper-gunakan  untuk  menghias dan mempercantik kehidupan, dan seringkali kita sebut dengan kamaliyyat (pelengkap).

Fiqh    pertimbangan    --dan    pada     gilirannya,     fiqh prioritas--mengharuskan kita:

* Mendahulukan dharuriyyat atas hajjiyyat, apalagi terhadap tahsinaf;
  
* Dan mendahulukan hajjiyyat atas tahsinat dan kamaliyyat.

Pada sisi yang lain,  dharuriyyat  sendiri  terbagi-bagi  lagi menjadi   beberapa   bagian.   Para  ulama  menyebutkan  bahwa dharuriyyat itu ada lima macam: agama, jiwa, keturunan,  akal, dan  harta  kekayaan.  Sebagian  ulama menambahkan dharuriyyat yang keenam, yaitu kehormatan.

Agama  merupakan  bagian  pertama  dan   terpenting   daripada dharuriyyat.   Ia   harus   didahulukan  atas  berbagai  macam dharuriyyat yang lain,  sampai  kepada  jiwa  manusia.  Begitu pula,  jiwa  harus  diutamakan  atas  dharuriyyat yang lain di bawahnya.

Dalam memberikan pertimbangan  terhadap  berbagai  kepentingan tersebut, kita dapat mempergunakan kaidah berikut ini:

Mendahulukan kepentingan yang sudah pasti atas kepentingan yang baru diduga adanya, atau masih diragukan.
  
Mendahulukan kepentingan yang besar atas kepentingan yang kecil.
  
Mendahulukan kepentingan sosial atas kepentingan individual.
  
Mendahulukan kepentingan yang banyak atas kepentingan yang sedikit.
  
Mendahulukan kepentingan yang berkesinambungan atas kepentingan yang sementara dan insidental.
  
Mendahulukan kepentingan inti dan fundamental atas kepetingan yang bersifat formalitas dan tidak penting.
  
Mendahulukan kepentingan masa depan yang kuat atas kepentingan kekinian yang lemah.

Pada Perjanjian Perdamaian Hudaibiyah, kita dapat melihat Nabi saw  yang  mulia memenangkan kepentingan inti dan fundamental, serta kepentingan masa depan atas  kepentingan  yang  bersifat formalitas  dan tidak penting, yang seringkali menipu manusia. Rasulullah saw menerima syarat-syarat yang pada awalnya diduga bahwa  penerimaan  itu  tidak  adil bagi kaum Muslim, sehingga mereka harus menerima bagian yang kurang  ...  Pada  saat  itu baginda  Nabi  saw  yang mulia menerima permintaan orang kafir untuk  menghapuskan  "basmalah"  yang  tertulis  pada   lembar perjanjian,   dan   sebagai   gantinya   ditulislah   "bismika allahumma."  Selain   itu,   beliau   juga   merelakan   untuk menghapuskan  sifat  kerasulan yang tertulis setelah nama Nabi saw yang mulia "Muhammad Rasulullah" dan  cukup  hanya  dengan menuliskan nama beliau saja "Muhammad bin Abdullah". Semua itu dilakukan oleh Rasulullah saw untuk mendapatkan ketenangan dan perdamaian   di  balik  itu,  sehingga  memungkinkannya  untuk menyiarkan da'wah Islam, dan mengajak raja-raja di  dunia  ini untuk  memeluk  Islam.  Tidak  diragukan  lagi  bahwa tindakan Rasulullah saw itu disebut di dalam al-Qur'an al-Karim  dengan istilah  kemenangan  yang  nyata  (fath  mubin). Contoh-contoh serupa itu banyak kita temukan pada kehidupan beliau.

PERTIMBANGAN ANTARA KERUSAKAN DAN MADHARAT YANG SATU DENGAN LAINNYA

Pada  bagian  kedua  --kerusakan  dan  Madharat--  kita  dapat menemukan bahwa kerusakan dan madharat itu memiliki tingkatan, sebagaimana tingkat yang terdapat pada kemaslahatan.

Kerusakan yang dapat merusak perkara yang termasuk dharuriyyat adalah  berbeda dengan kerusakan yang dapat merusak hajjiyyat, atau tahsinat.

Kerusakan yang  dapat  membahayakan  harta  benda  tidak  sama tingkatannya  dengan  kerusakan  yang dapat membunuh jiwa; dan juga tidak sama dengan kerusakan yang dapat membahayakan agama dan aqidah.

Volume, intensitas, dan bahaya yang ditimbulkan oleh kerusakan dan madharat itu berbeda-beda tingkatannya. Atas dasar inilah, para  fuqaha  menetapkan  sejumlah  kaidah  yang baku mengenai hukum yang penting; antara lain.

"Tidak ada bahaya dan tidak boleh membahayakan."
"Suatu bahaya sedapat mungkin harus disingkirkan."
"Suatu bahaya tidak boleh disingkirkan dengan bahaya yang sepadan atau yang lebih besar."
"Bahaya yang lebih ringan, dibandingkan dengan bahaya lainnya yang mesti dipilih, boleh dilakukan"
"Bahaya yang lebih ringan boleh dilakukan untuk menolak bahaya yang lebih besar."
"Bahaya yang bersifat khusus boleh dilakukan untuk menolak bahaya yang sifatnya lebih luas dan umum."

PERTIMBANGAN ANTARA MASLAHAT & KERUSAKAN APABILA KEDUA HAL YG BERTENTANGAN INI BERTEMU

Apabila   dalam   suatu   perkara   terdapat   maslahat    dan kerusakannya,  ada  bahaya dan manfaatnya, maka keduanya harus dipertimbangkan dengan betul. Kita harus  mengambil  keputusan terhadap  pertimbangan  yang  lebih  berat  dan  lebih banyak, karena sesungguhnya yang lebih  banyak  itu  mengandung  hukum yang menyeluruh.

Kalau  misalnya  kerusakannya dirasakan lebih banyak dan lebih berat dalam suatu perkara  dibandingkan  dengan  manfaat  yang terkandung   di  dalamnya,  maka  perkara  seperti  ini  mesti dicegah,  karena  kerusakan  lebih   banyak,   kita   terpaksa mengabaikan  sedikit  manfaat  yang  terkandung  di  dalamnya. Keputusan  ini  didasarkan  kepada  apa  yang  dikatakan  oleh al-Qur'an  al-Karim sehubungan dengan hukum khamar dan berjudi ketika  dia  memberikan  jawaban  terhadap  orang-orang   yang bertanya mengenai kedua hal itu:

"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar danpada manfaatnya ..." (al-Baqarah: 219)

Sebaliknya, apabila dalam suatu perkara terdapat manfaat  yang lebih  besar,  maka  perkara  itu  boleh  dilakukan, sedangkan kerusakan kecil yang ada padanya dapat  diabaikan.  Di  antara kaidah penting dalam hal ini ialah:

"Menolak kerusakan harus didahulukan atas pengambilan manfaat."

Kaidah ini kemudian  disempurnakan  dengan  kaidah  lain  yang dianggap penting:

"Kerusakan yang kecil diampuni untuk memperoleh, kemaslahatan yang lebih besar."
"Kerusakan yang bersifat sementara diampuni demi kemaslahatan yang sifatnya berkesinambungan."
 "Kemaslahatan yang sudah pasti tidak boleh ditinggalkan karena ada kerusakan yang baru diduga adanya."

Sesungguhnya fiqh pertimbangan seperti itu memiliki arti  yang sangat  penting dalam kehidupan nyata manusia, khususnya dalam masalah  Siyasah  Syari'ah  (politik  syari'ah),   karena   ia merupakan  landasan  bagi pembinaan umat, yang pada gilirannya dapat dipandang sebagai fiqh prioritas.

BAGAIMANA MENGETAHUI KEMASLAHATAN DAN KERUSAKAN?

Kemaslahatan yang mesti dipelihara ialah kepentingan dunia dan kepentingan   akhirat;   atau   kepentingan   dunia  sekaligus kepentingan  akhirat  secara  bersamaan.  Begitu  pula  halnya dengan    kerusakan    yang   sudah   tidak   diragukan   lagi keberadaannya.

Masing-masing kemaslahatan dan kerusakan ini  dapat  diketahui melalui  akal  pikiran,  atau  melalui  ketetapan  agama, atau melalui keduanya sekaligus.

PENDAPAT IBN ABD AL-SALAM

Imam Izzuddin bin Abd al-Salam merinci cara  untuk  mengetahui bemaslahan dan kerusakan, berikut peringkat-peringkatnya.

Dengan jelas beliau menulis dalam  bukunya,  Qawa'id  al-Ahkam Mashalih al-Imam:

"Kebanyakan kemaslahatan dunia dan kerusakannya dapat diketahui dengan akal, sekaligus menjadi bagian terbesar dari syari'ah; karena telah diketahui bahwa sebelum ajaran agama diturunkan, orang yang berakal telah mengetahui bahwa usaha untuk mencapai suatu kebaikan dan menghindarkan terjadinya suatu kerusakan dari diri manusia, menurut pandangannya merupakan sesuatu yang terpuji dan baik. Mendahulukan kemaslahatan yang dianggap paling penting juga dinilai sesuatu yang terpuji dan baik. Dan penolakan terhadap kerusakan dianggap paling membahayakan juga dianggap sesuatu yang terpuji dan baik. Mendahulukan suatu kemaslahatan yang diterima (rajih) atas kemaslahatan yang tidak diterima (marjuh) juga merupakan sesuatu terpuji dan baik. Dan penolakan terhadap kerusakan yang dianggap pasti atas penolakan yang belum dianggap pasti juga merupakan sesuatu yang baik."

Orang-orang yang bijak pun sepakat dengan  pendapat  di  atas. Begitu  pula,  berbagai  ajaran  syari'ah  mengharamkan darah, harta kekayaan, dan kehormatan; dan menganjurkan  kepada  kita untuk  melakukan  sesuatu  yang terbaik, baik berupa perkataan maupun perbuatan.

Apabila terdapat perselisihan pendapat pada sebagian persoalan tersebut,  maka sebetulnya perselisihan tersebut muncul ketika ada kesamaan pertimbangan antara maslahat dan  madharat.  Pada saat inilah orang-orang merasa bimbang mengambil keputusan.

Begitu  pula para dokter yang sedang menghadapi komplikasi dua macam penyakit pada pasiennya, mereka  akan  mengambil  risiko yang  paling  ringan,  dan mengambil keselamatan dan kesehatan yang paling tinggi, dan tidak mengindahkan risiko yang  ringan itu.  Akan  tetapi  mereka  akan  bimbang  manakala menghadapi risiko dan keselamatan yang sama.  Dunia  kedokteran  bagaikan syari'ah. Ia dibuat untuk mengambil keselamatan dan kesehatan, menolak kerusakan dan  penyakit.  Ia  diadakan  untuk  menolak segala  kemungkinan  buruk  yang mungkin timbul, dan mengambil kebaikan yang mungkin dilakukan. Dan jika  penolakan  terhadap keburukan  itu  tidak  dapat  dilakukan,  pengambilan terhadap kebaikan  juga  tidak  dapat   dilakukan,   sehingga   tingkat keburukan  dan kebaikan berada pada satu titik yang sama, maka ia harus mengambil keputusan. Jika ada perbedaannya,  maka  ia harus  memilih  pertimbangan  yang lebih berat. Dan jika tidak ada perbedaannya,  maka  ia  tidak  dapat  melakukan  tindakan apa-apa.  Yang menetapkan aturan syari'ah ini adalah juga yang menetapkan  aturan  dalam  dunia  kedokteran.  Dua  dunia  ini sama-sama   diletakkan   untuk   mengambil  kemaslahatan  bagi hamba-hamba-Nya dan menyingkirkan kerusakan dari mereka.

Kalau dalam dunia keagamaan, kita tidak boleh  melangkah  maju dalam  mengambil  kemaslahatan ketika dua tangan timbangan itu seimbang; maka di dalam dunia kedokteran keputusan pengambilan kemaslahatan  juga  tidak  boleh melangkah maju sebelum muncul tanda yang memberatkan salah satu tangan timbangan.  Begitulah seharusnya  kita  mengambil keputusan pada persoalan yang baik dan yang lebih baik; pada persoalan yang rusak dan yang paling rusak.  Demikianlah semestinya kaidah yang harus diberlakukan; karena hanya  orang-orang  bodoh  saja  yang  menyimpang  dari aturan  yang  berlaku  seperti  itu.  Kita  diharamkan memakan binatang sembelihan dari orang-orang kafir. Namun ada sebagian orang  yang  menyangka  bahwa  kemaslahatan  itu terdapat pada binatang yang disembelih, sehingga pandangan seperti ini tidak benar. Sebenarnya, dia mendahulukan kemaslahatan pada binatang yang  rendah  nilainya  atas  binatang  yang,   lebih   tinggi nilainya.  Kalau  orang ini mau melepaskan diri dari kebodohan dan hawa nafsunya, maka mereka akan  mendahulukan  yang  lebih baik  atas  yang  rendah  nilainya.  Mereka akan membuang yang lebih jelek dan mengambil yang ielek:

"... Maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun." (ar-Rum: 29)

Siapa yang mendapatkan bimbingan  dari  Allah  dan  dipelihara oleh-Nya, sehingga dia dapat melihat hal itu dengan jelas, dan melakukan amalannya sesuai dengan pandangannya itu,  maka  dia akan  mendapatkan  keberuntungan.  Akan  tetapi,  jumlah orang seperti ini tidak banyak. Salah seorang penyair mengatakan:

"Kami menghitung jumlah mereka sangat sedikit. Tetapi ternyata jumlah mereka lebih sedikit daripada yang sedikit itu."

Demikian pula orang-orang yang melakukan ijtihad  dalam  hukum agama.  Ada  orang  yang  diberi  bimbingan oleh Allah SWT dandipelihara dari kesalahan,  karena  dia  mendapatkan  petunjuk yang jelas dari-Nya, sehingga dapat melakukan yang benar. Oleh karena itu, dia mendapatkan pahala atas niatnya dan  kebenaran yang   dilakukannya.  Sebaliknya,  ada  orang  yang  melakukankesalahan  dalam  melakukan  ijtihad  itu,  maka   dia   hanya mendapatkan  pahala  atas  niat dan ijtihad yang dilakukannya; sedangkan kesalahannya dimaafkan. Dan yang  lebih  besar  dari kesalahan itu ialah hal-hal yang berkaitan dengan usul fiqh.

Ketahuilah  bahwa sesungguhnya kemampuan untuk memilih sesuatu yang lebih besar kemaslahatannya,  dan  menolak  sesuatu  yang lebih besar kejelekannya sudah diberikan oleh Allah dalam diri manusia, sebagaimana yang telah kami sebutkan di  dalam  kitab ini.  Kalau  Anda memberikan pilihan kepada seorang anak kecil antara dua makanan yang lezat dan lebih lezat, maka  dia  akan memilih  yang  lebih  lezat.  Kalau  dia  diberi pilihan untuk memilih yang baik dan yang lebih baik, maka dia  akan  memilih yang  lebih  baik. Kalau dia diberi pilihan untuk memilih uang kertas dan uang dirham, maka dia  akan  memilih  uang  dirham. Kalau  dia  disuruh memilih antara uang dirham dan dinar, maka dia akan memilih dinar. Tidak akan ada orang yang mendahulukan yang  baik  atas yang lebih baik kecuali orang yang tidak tahu kelebihan yang lebih baik itu, atau  orang  yang  berpura-pura tidak melihat perbedaan antara dua tingkatan tersebut.1

Adapun  kemaslahatan  dan  kemudharatan  masalah akhirat hanya dapat diketahui melalui dalil-dalil naqli.

Kemaslahatan dan  kerusakan  dunia  dan  akhirat  berada  pada tingkat  yang berbeda. Ada yang berada di atasnya dan ada pula yang di bawahnya.  Namun  ada  pula  yang  sama  tingkatannya. Kemaslahatan  dan  kerusakan  ini terbagi lagi menjadi hal-hal yang disepakati dan hal-hal yang tidak disepakati.

Setiap persoalan yang diperintahkan  kepada  kita  untuk  kita lakukan  merupakan persoalan yang mengandung kemaslahatan bagi dunia dan akhirat, atau salah satu di antara  kedua  hal  itu. Dan setiap yang dilarang pasti mengandung kerusakan bagi dunia dan  akhirat,  atau  kerusakan  pada  salah  satu  di   antara keduanya. Perbuatan yang menghasilkan kemaslahatan yang paling baik merupakan amalan yang paling mulia,  sedangkan  perbuatan yang menghasilkan kerusakan yang paling buruk merupakan amalan yang paling  hina.  Tidak  ada  kebahagiaan  yang  lebih  baik daripada  makrifat, iman, dan taat kepada Allah SWT; dan tidak ada kesengsaraan yang lebih buruk daripada kebodohan  terhadap ajaran agama, kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan.

Pahala  yang  diterima  di  akhirat kelak juga berbeda menurut tingkatan kemaslahatannya. Dan siksa yang  akan  diberikan  di akhirat  juga  akan  dilihat  menurut  tingkat  kerusakan yangdilakukan. Sebagian besar tujuan ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an  al-Karim ialah menyuruh kita mengambil kemaslahatan dengan segala hal yang berkaitan dengannya, dan mencegah  kita untuk   melakukan   kerusakan   dan   hal-hal  yang  berkaitan dengannya. Tidak ada penisbatan kemaslahatan dan kerusakan  di dunia  terhadap  kemaslahatan dan kerusakan di akhirat. Karena sesungguhnya kemaslahatan di  akhirat  kelak  pahalanya  ialah surga   yang  abadi  dan  keridhaan  Allah,  dengan  memandang keharibaan-Nya. Betapa nikmatnya kenikmatan  yang  abadi  ini. Sedangkan  kerusakan  di  akhirat balasannya ialah neraka yang abadi  dan  kemurkaan  Allah,   dengan   tidak   berkesempatan memandang  keharibaan-Nya. Betapa sengsaranya siksa yang pedih dan abadi ini.

Kemaslahatan itu ada  tiga  macam:  kemaslahatan  yang  mubah, kemaslahatan yang sunat, dan kemaslahatan yang wajib.

Sedangkan  kerusakan itu ada dua macam: kerusakan yang makruh, dan kerusakan yang haram.

CARA MENGETAHUI KEBAIKAN DAN KERUSAKAN DI DUNIA DAN DI AKHIRAT


KEBAIKAN dan kerusakan di dunia dan  di  akhirat  hanya  dapat diketahui  melalui syari'ah agama. Jika ada hal-hal yang masih belum diketahui, maka harus  dicari  dari  dalil-dalil  agama; yaitu  dari  al-Qur'an al-Karim, Sunnah Rasulullah saw, ijma', qiyas yang benar dengan cara  pengambilan  dalil  yang  sahih. Sedangkan   kemaslahatan  dunia  dan  hal-hal  yang  berkaitan dengannya  dapat  diketahui  dengan  kepentingan,  pengalaman, kebiasaan,  dan dugaan yang benar. Jika ada sesuatu yang masih belum diketahui maka harus dicari dalilnya. Oleh  karena  itu, orang   ingin   mengetahui   kesesuaian,   kemaslahatan,   dan kerusakannya, maka dia harus  membandingkan  antara  keduanya, mana  yang  diterima  dan  mana  yang tidak diterima, kemudian mengajukannya kepada akal pikirannya jika syari'ah agama belum mengeluarkan  ketetapan  atas  persoalan  itu; dan selepas itu dibangunlah hukum-hukum atasnya. Hampir tidak ada  hukum  yang keluar dari aturan seperti ini, kecuali hal-hal yang berkaitan dengan peribadatan terhadap Allah  yang  dilakukan  oleh  para hambaNya.  Dengan  cara  seperti  itulah,  kebaikan amalan dan keburukannya dapat diketahui. Padahal sesungguhnya tidak wajib bagi  Allah  untuk  mengambil  kemaslahatan yang baik, menolak masalah yang buruk, sebagaimana  tidak  wajib  bagi-Nya  untuk mencipta,  memberi  rizki,  memberi  beban  kewajiban, memberi pahala  dan  memberi  siksa.  Pengambilan   kemaslahatan   dan penolakan   atas   hal-hal   yang   buruk   merupakan  sejenis kekuasaan-Nya atas para hamba-Nya.

TUJUAN PENULISAN BUKU QAWA'ID AL-AHKAM

Imam Ibn Abd al-Salam memberikan penjelasan  berkenaan  dengan tujuan  penulisan  bukunya,  "Tujuan  penulisan buku ini ialah untuk  memberikan   penjelasan   tentang   pelbagai   kebaikan melakukan  ketaatan,  mu'amalah,  dan tindak laku yang lainnya agar  supaya  hamba-hamba  Allah  SWT  berupaya   mencapainya; memberikan  penjelasan  mengenai buruknya penentangan terhadap ajaran Allah, agar mereka menghindari  tindakan  seperti  itu; memberikan  penjelasan  mengenai  baiknya berbagai ibadah agar mereka  melakukannya;   penjelasan   mengenai   didahulukannya sebagian   kemaslahatan   atas   sebagian   yang   lain,   dan diakhirkannya sebagian kerusakan  atas  kerusakan  yang  lain; serta   penjelasan  mengenai  perbuatan  yang  dilakukan  oleh manusia yang dia tidak mempunyai kekuasaan untuk melakukannya. Syari'ah  agama  ini  secara  keseluruhan  mengandung berbagai macam kemaslahatan; baik berupa penolakan  terhadap  kerusakan atau  pengambilan  kemaslahatan. Jika Anda mendengarkan firman Allah: "Wahai orang-orang yang beriman," maka perhatikan pesan yang  datang  setelah  panggilan  ini,  pasti  Anda tidak akan menemukan  kecuali  kebaikan  yang  dianjurkan  olehnya,  atau keburukan  yang  Anda dilarang melakukannya, atau kedua-duanya sekali.  Allah  telah  menjelaskan  dalam  Kitab-Nya  mengenai sebagian  hukum  berkenaan  dengan  kerusakan  yang  sekaligus menganjurkan kepada kita untuk menjauhinya, serta  hukum-hukum yang berkaitan dengan kemaslahatan yang sekaligus menganjurkan kepada kita untuk melakukannya."2

HUBUNGAN ANTARA FIQH PRIORITAS DAN FIQH TUJUAN SYARI'AH

Fiqh  Prioritas  juga  berkaitan  erat  dengan   Fiqh   Tujuan Syari'ah.  Semua  orang  sepakat  bahwa  hukum-hukum  syari'ah secara menyeluruh memiliki alasan, dan  juga  terdapat  tujuan tertentu yang ada di balik bentuk lahiriah hukum syari'ah yang harus  dilaksanakan  itu;  karena   sesungguhnya   di   antara nama-nama Allah ialah al-Hakim (Maha Bijaksana) , yang disebut di dalam al-Qur'an al-Karim lebih dari  sembilan  puluh  kali. Allah  yang  Maha  Bijaksana tidak akan membuat syari'ah agama tanpa tujuan, sebagaimana Dia tidak akan  menciptakan  sesuatu dengan sia-sia.

Bahkan,   bentuk  ibadah  mahdhah  (ibadah  yang  murni)  juga mempunyai tujuan-tujuan tertentu,  yang  kadang-kadang  alasan ibadah itu disebutkan oleh al-Qur'an:

Shalat  misalnya,  adalah  untuk  mencegah  perbuatan keji dan mungkar  (al-'Ankabut:  45);  zakat  untuk  membersihkan   dan menyucikan   diri   manusia   (at-Taubah:103);   puasa   untuk menjadikan manusia bertaqwa (al-Baqarah, 183); dan ibadah haji untuk  menyaksikan  berbagai  manfaat, dan menyebut nama Allah (al-Hajj, 28).

Di antara pemahaman terbaik kita terhadap ajaran  agama  Allah ialah  bila  kita  mengetahui tujuan pemberian beban kewajibanyang mesti kita lakukan, sehingga kita dapat mewujudkan tujuan tersebut,  dan  tidak  memaksa  diri  kita dan juga orang lain untuk melakukan sesuatu yang  tidak  berkaitan  dengan  tujuan syari'ah.

Dari  uraian ini saya tidak melihat alasan yang jelas mengenai pemaksaan pentingnya mengeluarkan zakat  fitrah  dalam  bentuk makanan  sebagaimana  yang kita saksikan di setiap tempat pada zaman kita sekarang ini, di kota maupun di  desa.  Pengeluaran zakat    fitrah   dalam   bentuk   makanan   bukanlah   tujuan satu-satunya, tetapi tujuan sebenarnya ialah  mencukupi  orangfakir miskin pada hari yang sangat mulia ini agar mereka tidak meminta-minta  dan  berkeliling  menengadahkan  tangan  kepada orang lain.

Saya  juga  tidak  melihat  alasan  yang jelas makna pemaksaan pelemparan jumrah dalam  ibadah  haji  sebelum  tergelincirnya matahari, walaupun pada saat itu para jamaah sangat ramai, dan ratusan orang mati terinjak kaki, seperti  yang  terjadi  pada musim  haji  tahun  yang  lalu.  Di dalam syari'ah agama tidak ditunjukkan bahwa perkara  ini  merupakan  tujuan  yang  mesti dicapai,  tetapi tujuannya ialah mengingat Allah SWT, dan yang diminta ialah yang mempermudah cara  pelaksanaan  ibadah  hajiitu, sehingga tidak menyakitkan.

Yang  terpenting  di sini ialah, membedakan antara tujuan yang tetap dan cara pelaksanaan yang berubah-ubah. Untuk  hal  yang pertama  kita  umpamakan  seperti  besi yang sangat keras, dan untuk hal  yang  kedua  kita  umpamakan  seperti  sutera  yang lembut.  Persoalan  ini  telah  kami jelaskan dalam buku kami, Kayfa Nata'amal ma'a as-Sunnah an-Nabawiyyah.3

HUBUNGAN ANTARA FIQH PRIORITAS DAN FIQH NASH

Tidak diragukan lagi bahwa fiqh  prioritas  memiliki  hubungan yang  erat dengan fiqh nash syari'ah yang bersifat parsial. Di mana nash yang parsial  ini  berkaitan  dengan  tujuan  secara umum,  kaidah-kaidah  umum,  sehingga  yang  parsial ini dapat dikembalikan kepada yang umum, dan sebaliknya, masalah-masalah cabang dapat dikembalikan kepada yang pokok.

Yang  paling penting di sini ialah membedakan antara nash yang bersifat qath'i dan nash yang  bersifat  zhanni,  antara  nash yang  muhkam  dan nash yang mutasyabih. Nash yang zhanni mesti dipahami berdasarkan yang qath'i,  dan  nash  yang  mutasyabih mesti dipahami dalam kerangka nash yang muhkam.

Fiqh  seperti  ini sangat penting sekali untuk memahami Sunnah Nabi,  karena  seringkali  terjadi  pencampuradukan  pemahaman antara Sunnah Nabi dan al-Qur'an; karena kedudukan Sunnah Nabi sebagai penjelas dan pemerinci  al-Qur'an  al-Karim,  sehingga dia  banyak  masuk  kepada hal-hal yang parsial dan pada tahap pelaksanaannya. Selain ibu, di dalam Sunnah Nabi juga terdapat penetapan  syari'ah  (tasyri'),  yang melupakan masalah pokok; dan juga ada perkara yang sifatnya bukan  penetapan  syari'ah, misalnya  hadits yang berkaitan dengan pengawinan pohon kurma. Disamping itu, dalam Sunnah Nabi juga ada  penetapan  syari'ah yang  bersifat  langgeng (kontinyu) dan ada pula yang sifatnya insidental; ada penetapan syari'ah yang bersifat umum, dan ada pula  yang  bersifat  khusus. Di mana untuk berbagai persoalan tersebut telah banyak dirinci oleh para ulama yang lain.

Saya  sendiri  telah  menjelaskan  masalah   tersebut   ketika berbicara  tentang  Salah  Satu  Sisi Penetapan Syari'ah dalam Sunnah, yang dimuat  dalam  majalah  Markaz  Buhuts  as-Sunnah was-Sirah;  dan  juga  dalam  buku  saya sendiri as-Sunnah..., Mashdar li  al-Ma'rifah  wa  al-Hadharah.4  Bagi  peminat  dua masalah  ini  dapat  merujuk  kepada  dua buah sumber tersebut untuk kajian yang lebih mendalam.

Catatan Kaki:

 
1 Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 1:5-7.
2 Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 1:5-11.
3 Baca bagian yang membicarakan "Perbedaan antara Cara yang Berubah-ubah dan Tujuan sunnah yang tetap."
4 Diterbitkan oleh Markaz Buhuts as-Sunnah wa al-Sirah al-Nabawiyyah, Universitas Qatar.


0 comments:

Post a Comment